Hilirisasi dan Industrialisasi Bersimpang Jalan, Tak Menambah Lapangan Kerja

Hilirisasi dan Industrialisasi Bersimpang Jalan, Tak Menambah Lapangan Kerja

Bisniscom, JAKARTA – Hilirisasi dan industrialisasi adalah duet maut bagi pertumbuhan ekonomi maupun pembukaan lapangan kerja. Tidak heran jika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadikan hilirisasi dan industrialisasi sebagai salah satu dari Asta Cita, bagaimana nasibnya kini?

Pemerintah berkomitmen untuk mempercepat program hilirisasi. Dalam rapat terbatas dengan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih pada Kamis (6/11/2025) lalu, Presiden Prabowo Subianto kembali menekankan pentingnya program hilirisasi di berbagai sektor strategis. Baik itu sektor perikanan, pertanian, hingga energi dan sumber daya mineral.

Pemerintah pun menargetkan prastudi kelayakan 18 proyek hilirisasi dengan nilai investasi hampir mencapai Rp600 triliun rampung pada tahun ini. Bahkan, DataIndonesia yang merupakan tim riset Bisnis Indonesia Group, mencatat potensi nilai investasi penghiliran mineral dan batu bara (minerba) menjadi yang paling tinggi.

Data Editor DataIndonesia Gita Arwana Cakti menjabarkan sektor minerba mencapai Rp321,8 triliun, sedangkan ketahanan energi sebesar Rp232 triliun, disusul transisi energi senilai Rp40 triliun. 

“Kelautan dan perikanan Rp17,22 triliun dan yang terakhir, yang paling kecil itu pertanian, padahal dia yang di posisi kedua [kontribusi terhadap PDB], tapi potensi nilai investasinya Rp7,11 triliun,” ungkap Gita dalam siniar Factory Hub yang dikutip pada Minggu (16/11/2025).

Dari sisi investasi, sektor penyerap terbesar adalah industri logam dengan nilai investasi Rp62,02 triliun pada kuartal III/2025.  Pada posisi kedua terdapat sektor pertambangan sebesar Rp55,87 triliun. 

Lebih rinci lagi, realisasi investasi hilirisasi diserap paling besar oleh komoditas nikel yakni senilai Rp42 triliun. Untuk komoditas nikel, pemerintah sebelumnya berharap hilirisasi itu bisa menopang pengembangan produksi kendaraan listrik (electric vehicle/EV). 

Hanya saja, hingga kini proses itu belum tersambung, sebab mobil listrik yang dipasarkan justru lebih banyak menggunakan baterai jenis lithium ferro phosphate (LFP). Para produsen menilai LFP relatif lebih murah dibandingkan baterai berbasis nikel.

LAPANGAN KERJA

Lebih lanjut, investasi jumbo proyek hilirisasi juga tidak berjalan beriringan dengan penyerapan tenaga kerja yang optimal. Hingga periode kuartal III/2025, tercatat penyerapan  tenaga kerja mencapai 696.478 orang. Posisi tersebut naik dari periode yang sama pada 2024 sebanyak 650.172 orang. 

Namun, jika melihat data lebih dekat, pada 2024 sendiri jenis industri dengan proporsi pekerja manufaktur terbesar adalah industri makanan dengan persentase 4% disusul dengan industri pakaian jadi atau tekstil sebanyak 2%. 

Berbanding terbalik dengan kucuran investasinya, industri barang logam bukan mesin dan peralatannya serta industri logam dasar hanya berkontribusi masing-masing 0,43% dan 0,16%.

Industri produk dari batu bara dan pengilangan minyak bumi juga tidak lebih baik, sektor ini mencatat proporsi tenaga kerja manufaktur sebanyak 0,03%. Hal ini menunjukkan hilirisasi yang ada bersifat padat modal tetapi minim rangsangan terhadap industri padat karya lainnya.

Padahal, hilirisasi diharapkan bisa mewujudkan indonesia sebagai negara industri mengingat hilirisasi dan industrialisasi saling berkaitan. Industrialisasi, jelas Gita, merupakan proses transformasi ekonomi dari sektor agraris ke sektor manufaktur yang menghasilkan barang produksi massal.

Oleh karena itu, penghiliran menjadi salah satu prasyarat negara industri karena mengolah sumber daya mentah menjadi produk bernilai tambah lebih tinggi. “Nah jadi penghiliran itu langkah awal menciptakan industrialisasi, keduanya saling berkaitan,” ujar Gita.

Lebih jauh, data menunjukkan hilirisasi di Indonesia tidak menambah geliat industri sebagaimana yang diharapkan. Kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada kuartal II tahun 2023–2025 masih datang dari industri pengolahan. 

Pada Kuartal II/2025, industri pengolahan menyumbang kontribusi sebesar 18,67%. Pencapaian ini menurun dari tren kontribusi manufaktur terhadap PDB pada awal 2000-an yang bisa mencapai 30%.  

“Itu sekitar awal 2000-an tapi sekitar 2020-an sampai sekarang itu [kontribusi industri manufaktur] masih di bawah 20% gitu,” terang Gita. 

Berdasarkan laporan S&P Global Market, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia terus mengalami fluktuasi selama setahun terakhir.

DataIndonesia memaparkan PMI manufaktur Indonesia tercatat 51,2 poin pada Oktober 2025. Sebelumnya, sempat mengalami kontraksi dari 51,5 poin pada Agustus 2025 menjadi 50,4 poin di September 2025.

“Satu tahun terakhir PMI Manufaktur ini juga cukup dinamis sih. Sempat kontraksi terus naik ke ekspansif, tapi turun lagi dan baru Agustus kemarin naik ke ekspansi. Tapi, kemudian Septembernya turun lagi,” jelas Gita.

Persoalannya, berdasarkan data yang sama, manufaktur Indonesia cukup tertinggal dibandingkan negara-negara kawasan Asia Tenggara lainnya. Thailand, misalnya, tercatat PMI berada di level 56,6 poin dan Vietnam 54,5 poin pada Oktober 2025.

Berdasarkan pengamatan data-data tersebut, maka pemerintah perlu menggenjot agar hilirisasi bisa mendongkrak industri. Hanya saja, keduanya juga dibutuhkan bagi pembukaan luas lapangan kerja, agar Indonesia Emas bisa diwujudkan. Bukan sebaliknya, malah terjadi deindustrialisasi dini!