Healing Spiritual-Ekologis Versi Ramadan: Antara Puasa, Tuhan, dan Alam

Healing Spiritual-Ekologis Versi Ramadan: Antara Puasa, Tuhan, dan Alam

Jakarta, Beritasatu.com – Problem global yang saat ini terjadi yakni problem kerusakan alam. Problem ini sangat mudah dijumpai di berbagai tempat dan diabadikan di berbagai media massa. Salah satu problem yang bisa dirasakan secara langsung yakni pemanasan global (global warming) hingga pendidihan global (global boiling). Hal ini menandakan bahwa bumi telah mencapai posisi yang rentan. Saat ini, suhu bumi telah naik mencapai ambang batasnya, kurang lebih 1,52 derajat Celsius.

Problem tersebut bukan hanya sekedar wacana, melainkan sebuah realitas yang perlu direspon umat muslim yang masih memiliki kesadaran lingkungan. Salah seorang tokoh spiritual bernama Seyyed Hossein Nasr menggagas sebuah ide tentang ekosofi Islam. Teori ini dibentuk sebagai responnya terhadap fenomena kerusakan alam secara masif yang saat ini terjadi. Dalam karyanya yang berjudul The Encounter Man and Nature, Nasr mencoba menjelaskan hubungan vital antara manusia, Tuhan, dan alam. 

Selain Nasr, Badiuzzaman Said Nursi juga menjadi salah satu tokoh yang terkenal memiliki gagasan tentang spiritual-ekologis. Nursi mencoba menghubungkan antara ekologi dan teologi. Pemikirannya memberikan pemahaman bahwa krisis lingkungan yang saat ini terjadi diawali dari pemikiran manusia tentang alam. Antara Nasr dan Nursi agaknya memiliki kesimpulan yang sama, yakni pentingnya dimensi spiritual dalam hubungan antara manusia dan alam. 

Pemikiran yang menggabungkan antara dimensi spiritual dan ekologis tidak bisa diabaikan. Dalam konteks Ramadan, dua dimensi ini justru dapat menjadi jalan baru untuk menjadikan tradisi Ramadan lebih membumi. Selama ini, praktik di bulan Ramadan seringkali hanya dihubungkan dengan ibadah-ibadah yang bersifat ritual, seperti salat malam, membaca Al-Qur’an setiap malam, dan sebagainya. Semua praktik tersebut tentunya baik, namun dimensi lainnya tidak dapat diabaikan, karena Rasulullah SAW sendiri yang memberikan contohnya. 

Perhatian Rasulullah pada alam diabadikan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut.

إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا

Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah. (HR. Bukhari&Ahmad).

Hadis tersebut membuktikan bahwa Rasulullah SAW sangat peduli terhadap lingkungan. Bahkan dalam Surah Al-Fatihah yang merupakan ummu al-kitab, setelah basmalah, ayat selanjutnya menyebutkan alhamdulillahirabbil alamin. Kata alam di dalam ummu al-kitab tersebut menandakan betapa pentingnya alam.

Dalam ilmu tauhid, alam memiliki definisi kullu ma siwa Allah (segala sesuatu selain Allah). Dengan demikian, baik manusia maupun hewan dan tumbuhan, semuanya adalah alam. Begitu pun dengan benda-benda lainnya, seperti tanah, batu, angin, air, api, dan sebagainya.

Sayangnya, dalam ayat lainnya, Allah berfirman sebagai berikut. 

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum: 41)

Berdasarkan QS Ar-Rum: 41 di atas, Allah telah mengisyaratkan adanya problem global yang bisa melanda bumi (al-ardh) berupa kerusakan (al-fasad). Maka, meskipun alam begitu penting bagi kehidupan manusia, kebanyakan manusia justru mengabaikan keberadaannya, karena hanya menganggapnya sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan hidup di bumi.