Liputan6.com, Yogyakarta – Hari Layang-Layang Internasional atau International Kite Day diperingati setiap 14 Januari. Meski telah dikenal masyarakat di seluruh dunia, tetapi layang-layang juga memiliki pengaruh tersendiri terhadap kebudayaan di Indonesia.
Mengutip dari National Today, menerbangkan layang-layang awalnya menjadi hobi para bangsawan dan orang kaya. Namun, permainan ini kemudian berkembang menjadi festival yang terbuka untuk semua kalangan dengan peserta yang berasal dari berbagai negara, seperti Jepang, Italia, Inggris, Kanada, China, Indonesia, Singapura, Amerika Serikat, Malaysia, Australia, Prancis, dan Brasil.
Mengutip dari indonesia.travel, layang-layang telah menjadi bagian dari seni dan budaya yang melekat di Indonesia. Bahkan, permainan tradisional ini tak hanya dimainkan anak-anak, melainkan juga orang dewasa. Berikut beberapa fakta menarik layang-layang di Indonesia:
1. Layang-layang tertua berasal dari Indonesia
Layang-layang merupakan mainan tradisional yang dimainkan dengan cara diterbangkan di udara dengan memanfaatkan angin. Umumnya, layang-layang terbuat dari bahan ringan, seperti kertas, plastik, maupun kain.
Layang-layang dibuat dengan kerangka dari bambu atau bahan ringan lainnya. Layang-layang tersebut diberi benang yang digunakan sebagai pengendali saat diterbangkan.
Penggunaan bahan tipis, rangka, dan benang dalam permainan ini memiliki beberapa versi sejarah. Salah satu versi mengatakan bahwa budaya layang-layang pertama kali ada di Indonesia.
Hal itu dibuktikan dengan penemuan lukisan di dalam salah satu gua bersejarah di Muna, Sulawesi Tenggara. Para arkeolog nasional pun melakukan penelitian pada 1981 hingga 1991.
Lukisan pada gua tersebut mengisyaratkan bahwa layang-layang yang digunakan terbuat dari daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lukisan tersebut sudah berusia setidaknya 4000 Masehi.
Hal ini membuktikan bahwa budaya layang-layang pertama kali dilakukan oleh nenek moyang di Indonesia. Konon, nenek moyang zaman dahulu menggunakan layang-layang untuk menjalankan fungsi ritual, salah satunya untuk mencari keberadaan Tuhan di langit.
2. Festival Kaghati Kolope di Sulawesi Tenggara
Keterkaitan layang-layang dengan fungsi ritual nenek moyang zaman dulu juga dibuktikan melalui Festival Kaghati Kolope. Festival ini digelar di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Saat ini, layang-layang telah mengalami banyak perkembangan. Dari yang awalnya memiliki bentuk sederhana dan berfungsi sebagai ritual keagamaan, saat ini layang-layang telah menjadi alat bantu memancing, penelitian ilmiah, hingga media energi alternatif.
Hadirnya Festival Kaghati Kolope menjadi salah satu upaya untuk melestarikan layang-layang. Adapun nama kaghati berarti layang-layang, sedangkan kolope adalah daun umbi gadung.
Sesuai namanya, nenek moyang masyarakat Muna zaman dahulu membuat layang-layang dari tiga helai daun kolope. Daun tersebut disusun dan dirangkai dengan lidi dari bambu serta hiasan bulu ayam, lalu dinamai sebagai Kamuu. Festival Kaghati Kolope biasanya berisi lomba kreasi membuat layang-layang, lomba menerbangkan layang-layang, dan diisi dengan festival kebudayaan, seperti tari kolosal kaghati, pagelaran budaya, dan karnaval tenun masalili.