Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Candra Fajri Ananda mendorong pentingnya keseimbangan dalam kebijakan tarif cukai rokok sehingga dampak negatif terhadap kelangsungan industri hasil tembakau (IHT) dan perekonomian dapat diminimalisasi. Salah satu rekomendasi utamanya adalah mempertimbangkan moratorium.
Dia mengatakan, moratorium kenaikan tarif cukai adalah opsi yang lebih bijaksana untuk menjaga keberlangsungan IHT dan mencegah lonjakan peredaran rokok ilegal, sembari tetap menjaga stabilitas penerimaan negara dan sektor tenaga kerja yang bergantung pada industri ini.
Apabila tarif cukai ditujukan untuk mencapai keseimbangan pilar kebijakan IHT, maka tarif cukai sebesar 4 – 5% (dari tarif yang berlaku saat ini) adalah tarif cukai yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan dalam mencapai keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT).
“Kenaikan tarif di atas batas ini berisiko meningkatkan peredaran rokok ilegal karena konsumen beralih ke produk yang lebih murah dan tidak dikenai cukai,” kata dia dikutip Jumat (7/11/2024).
Kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE – FEB UB) menunjukkan, kenaikan tarif cukai yang tidak diimbangi dengan kemampuan daya beli masyarakat justru mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal. Data simulasi yang dilakukan memperlihatkan bahwa setiap kenaikan tarif cukai mengakibatkan lonjakan persentase peredaran rokok illegal sehingga mengakibatkan berkurangnya potensi penerimaan negara hingga Rp 5,76 triliun per tahun.
“Bahwa kenaikan tarif cukai berpengaruh negatif pada volume produksi rokok legal. Peningkatan harga membuat permintaan beralih ke produk ilegal, sehingga industri rokok mengalami penurunan kapasitas produksi. Akibatnya, lapangan kerja di sektor ini terancam, terutama bagi pabrik kecil yang tidak mampu bersaing di tengah tingginya tarif cukai dan menurunnya permintaan,” terang Candra.