Bisnis.com, NUSA DUA, BALI – Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) menerapkan skema fleksibel untuk menanggung selisih harga biodiesel berbasis sawit dan solar fosil.
Langkah ini diambil menyusul lonjakan harga minyak sawit dunia yang membuat program mandatori biodiesel menghadapi tekanan tinggi dan risiko beban subsidi yang membengkak.
Direktur Utama BPDP Eddy Abdurrachman mengatakan skema fleksibel ini memungkinkan kadar campuran biodiesel disesuaikan berdasarkan perbedaan harga antara biodiesel dan solar. Jika gap harga melebar, maka persentase campuran bisa diturunkan sehingga program tetap berjalan tanpa membebani fiskal secara berlebihan.
“Rekomendasi kami itu pakai skema fleksibel. Persentase campuran biodiesel bisa naik atau turun tergantung selisih harga sawit dan solar. Kalau gap-nya besar, seperti sekarang, baurannya bisa diturunkan,” ujar Eddy saat ditemui di sela-sela acara 21st Indonesian Palm Oil Conference and 2026 Price Outlook (IPOC) di BICC, The Westin Resort Nusa Dua, Bali, Kamis (13/11/2025).
Sesuai regulasi yang berlaku, Eddy menjelaska, produsen biodiesel diwajibkan menjual biodiesel kepada perusahaan distribusi solar, yang kemudian menyalurkan solar tersebut ke konsumen dengan harga yang setara dengan harga solar fosil.
Ini artinya, apabila harga biodiesel lebih tinggi daripada solar fosil, maka BPDP bertugas untuk menanggung selisih harga tersebut. Mekanisme ini memastikan produsen biodiesel tetap dapat menjual produknya meski harga biodiesel lebih mahal dari solar fosil.
Adapun saat ini, selisih harga biodiesel dan solar yang ditanggung BPDP mencapai sekitar Rp6.000 per liter, termasuk ongkos angkut, pajak, dan PPN. Namun, angka tersebut bersifat sangat fluktuatif, mengikuti pergerakan harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar global.
Dia menambahkan, harga biodiesel tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi produksi domestik, namun juga oleh dinamika pasar internasional.
Eddy menuturkan, produksi minyak nabati pesaing seperti minyak kedelai dan minyak bunga matahari di negara lain dapat menekan harga sawit dunia. Sebaliknya, jika pasokan global terbatas, maka harga bisa melonjak dan memengaruhi besarnya subsidi yang harus ditanggung BPDP.
“Ini bukan cuma soal produksi dalam negeri. Dunia yang menentukan. Kalau produksi pesaing banyak, harga bisa turun karena orang beralih. Tapi kalau pasokannya sedikit, harga naik. Pokoknya ekonomi ini mengikuti market price global,” jelasnya.
Eddy menambahkan, mekanisme fleksibel akan menjadi lebih relevan seiring rencana pemerintah menerapkan B50 pada semester II/2026. Namun hingga saat ini, pembahasan tersebut masih berlangsung dan belum ada proyeksi terhadap potensi tambahan beban subsidi jika harga sawit global kembali melonjak.
Selain itu, Eddy menekankan program biodiesel tetap menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam energi terbarukan dan pencapaian target energi nasional.
“Program ini dapat mengurangi ketergantungan pada solar impor, menghemat miliaran dolar setiap tahunnya, dan meningkatkan neraca perdagangan Indonesia,” ujarnya.
Di samping itu, menurut Eddy, bauran biodiesel juga mendorong inovasi teknologi dan pengembangan energi terbarukan alternatif, seperti used cooking oil, hydrotreated vegetable oil (HVO), dan bahan bakar efisien lainnya.
