“Hangover” Politik Pasca-Pilkada
Pengajar pada Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung
SEMUA
konstestan
Pilkada
, baik yang menang maupun kalah, sama-sama menyampaikan dalam kampanyenya bahwa pemilihan
kepala daerah
adalah pesta rakyat.
Betul Pilkada itu pesta, mirip prasmanan di mana semua orang berjuang mendapatkan makanan terbaik.
Namun tunggu dulu, apa yang terjadi setelah pesta Pilkada? Jawabannya,
hangover
politik, yaitu fenomena “jlimet” dan memusingkan yang bisa membuat stabilitas masa depan tergelincir ke jurang ketidakpastian.
Hangover
politik adalah kondisi di mana ekspektasi masyarakat, karena sebelumnya dirayu dengan janji-janji kampanye yang sangat manis, bertemu dengan kenyataan pahit.
Mereka yang kemarin bersorak-sorai akan mulai bertanya-tanya, “Mana perubahan yang dijanjikan?”
Sementara itu, para pendukung kandidat yang kalah masih menyimpan rasa kesal dan dendam.
Jika tidak diantisipasi, maka gejala
hangover
politik bisa berubah menjadi energi destruktif, membuat masyarakat sulit diajak berkolaborasi membangun masa depan. Dalam situasi seperti ini, stabilitas menjadi taruhannya.
Ketika masyarakat kecewa karena kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan “khayalan”, mereka cenderung mencari kambing hitam. Kalau bukan pemimpin terpilih, mungkin tim suksesnya.
Kekecewaan ini sering kali sangat mudah diorganisir menjadi gerakan yang membuat suasana menjadi keruh dan gaduh.
Pemimpin terpilih yang dihadapkan pada
hangover
politik sering kali tergoda untuk mengambil langkah populis.
Program-program instan yang sekilas terlihat menjanjikan, seperti bantuan langsung tunai sementara, jadi pilihan. Padahal justru membuat anggaran terkuras tanpa hasil jangka panjang.
Perlu ada langkah taktis dan politis untuk mengatasi
hangover
sebelum menjadi krisis akut.
Pertama, pemimpin yang baru terpilih belajar berkata jujur, walaupun lebih sulit daripada memenangkan Pilkada. Mengakui secara terbuka bahwa tidak semua janji bisa segera ditepati memang langkah tidak populer, tetapi sangat diperlukan.
Kedua, masyarakat perlu diberi “obat” berupa program nyata dan masuk akal. Misalnya, perbaiki jalan berlubang sekalipun dengan jarak terbatas. Keberhasilan kecil ini bisa menjadi bukti bahwa pemerintah daerah mulai bekerja, meski perlahan.
Ketiga, para pendukung kandidat yang kalah harus diberi ruang untuk ikut serta. Jika tidak, maka mereka akan terus merongrong dari luar sistem.
Pastikan ada langkah politis untuk memastikan semua pihak merasa diakui dan memiliki masa depan yang sedang dibangun.
Bagi para pemenang Pilkada tahun ini,
hangover
politik mungkin akan lebih nyata daripada biasanya. Sebab, mereka tidak hanya menghadapi ekspektasi masyarakat yang “menggunung”, tetapi juga realitas global yang suram dan kurang bersahabat.
Di hampir semua belahan dunia “angin kencang ketidakpastian” sedang berhembus. Perlambatan ekonomi global, perang di beberapa kawasan, dan inflasi membumbung, termasuk dampak perubahan iklim yang semakin nyata adalah realitas pahit yang harus dihadapi semua pemimpin, termasuk para pemimpin lokal.
Janji kampanye yang dirangkai dengan optimisme, seperti “lapangan kerja baru untuk semua” atau “pembangunan infrastruktur yang cepat,” atau “gratis ini gratis itu” mungkin akan terasa seperti bom waktu yang siap meledak di meja wali kota, bupati, dan gubernur yang memenangkan kontestasi.
Para pemenang harus sadar bahwa janji kampanye, yang dijadikan “gombalan” untuk merayu pemilih, sekarang bisa menjadi jebakan mematikan.
Ketika masyarakat menuntut bukti nyata atas janji tersebut, para pemenang harus berhadapan dengan fakta bahwa alur administrasinya yang berbelit, anggaran terkikis oleh lonjakan harga pangan dan energi, sementara dana transfer dari pemerintah pusat mungkin tersendat karena alokasi prioritas untuk program strategis dan politis nasional.
Realitas ini membuat
hangover
politik bukan lagi sekadar ancaman, melainkan kepastian yang harus diantisipasi.
Jika masyarakat mulai menyadari bahwa pemimpin lokal mereka tidak mampu memenuhi janji, rasa kecewa akan menyebar seperti virus.
Polarisasi yang semula terkubur oleh euforia kemenangan bisa bangkit kembali, memperburuk situasi sosial dan mempersempit ruang dialog.
Kegagalan atau keterlambatan memenuhi janji kampanye di tengah tantangan global bisa menjadi bahan bakar bagi kelompok-kelompok lawan “yang masih kesal” untuk menyerang.
Tanpa langkah cepat dan bijak, para pemimpin daerah terpilih berisiko kehilangan legitimasi mereka di awal masa jabatan.
Para pemenang Pilkada sebaiknya tidak terbuai oleh selebrasi kemenangan yang berlebihan. Mereka harus segera siap-siap bertransformasi dari politisi menjadi negarawan yang pragmatis tapi bijak, mengakui keterbatasan realitas, dan membangun kepercayaan masyarakat melalui transparansi dan komunikasi yang jujur.
Alih-alih mencoba memenuhi semua janji secara instan, hendaknya mereka menyusun prioritas yang realistis.
Mereka agar fokus pada kebutuhan mendesak seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal dan penguatan ketahanan sosial di tengah gejolak global.
Gejolak dunia internasional memang berada di luar kendali para pemenang Pilkada, tetapi respons mereka terhadap tantangan ini sepenuhnya dalam kendali mereka.
Hangover
politik adalah ujian sesungguhnya bagi setiap pemimpin terpilih, apakah mereka mampu mengelola rasa kecewa masyarakat tanpa kehilangan arah, atau justru terjebak dalam pusaran konflik yang menggerus kepercayaan.
Bagi para pemenang Pilkada, kemenangan adalah awal dari perjalanan yang penuh jebakan.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.