Jakarta, Beritasatu.com – Perceraian tidak hanya berarti berakhirnya hubungan antara suami dan istri, tetapi juga menyangkut masa depan anak yang lahir dari pernikahan tersebut.
Salah satu hal terpenting yang harus ditentukan setelah perceraian adalah hak asuh anak (hadanah). Dalam hukum Islam maupun hukum di Indonesia, hak asuh anak diatur dengan ketentuan yang berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak.
Secara sederhana, hak asuh anak adalah hak dan kewajiban untuk memelihara, mendidik, dan membesarkan anak hingga mencapai usia tertentu.
Dalam konteks perceraian, hak ini menentukan apakah ayah atau ibu yang berwenang mengasuh anak setelah rumah tangga mereka berpisah.
Dalam Islam, hadanah berarti tanggung jawab menjaga anak dari segi fisik, mental, dan spiritual. Tujuan utama dari hak asuh anak adalah memastikan anak tumbuh dalam kasih sayang, pendidikan yang baik, dan lingkungan yang mendukung, meskipun orang tuanya tidak lagi hidup bersama.
Hak Asuh Anak menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam, hak asuh anak setelah perceraian umumnya diberikan kepada ibu, terutama jika anak masih kecil atau belum mumayiz (belum bisa membedakan mana yang baik dan buruk).
Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang menegaskan seorang ibu lebih berhak mengasuh anaknya selama ia belum menikah lagi dan mampu mendidiknya dengan baik.
Namun, jika ibu dianggap tidak layak, misalnya karena menelantarkan anak, melakukan kekerasan, atau tidak sanggup memenuhi kebutuhan dasar anak, maka hak asuh dapat berpindah kepada ayah atau keluarga terdekat lainnya. Dalam hal ini, prinsip utama yang dijaga adalah kepentingan terbaik bagi anak.
Hak Asuh Anak menurut Undang-Undang di Indonesia
Dalam sistem hukum nasional, hak asuh anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berdasarkan Pasal 105 KHI, dijelaskan:
Anak yang belum mumayiz (belum berusia 12 tahun) berada di bawah pengasuhan ibu.Anak yang sudah mumayiz diberikan hak untuk memilih ingin tinggal bersama ayah atau ibu.Sementara itu, ayah tetap memiliki kewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, terlepas dari siapa yang memegang hak asuh.
Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan juga menegaskan meskipun terjadi perceraian, kedua orang tua tetap memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya demi kesejahteraan dan masa depan mereka.
Pertimbangan Pengadilan dalam Menentukan Hak Asuh Anak
Ketika terjadi sengketa hak asuh anak di pengadilan, hakim akan mempertimbangkan sejumlah faktor penting, antara lain:
Usia dan kebutuhan anak.Kedekatan emosional anak dengan masing-masing orang tua.Kemampuan ekonomi dan moral orang tua.Riwayat pengasuhan serta kondisi psikologis anak.Hakim tidak hanya menilai dari sisi hukum formal, tetapi juga mempertimbangkan aspek psikologis dan kesejahteraan anak secara menyeluruh. Prinsip yang digunakan adalah the best interest of the child (kepentingan terbaik bagi anak).
Baik menurut hukum Islam maupun hukum di Indonesia, hak asuh anak setelah perceraian tidak semata-mata ditentukan berdasarkan jenis kelamin orang tua. Keputusan hak asuh diberikan kepada pihak yang paling mampu memenuhi kebutuhan fisik, emosional, dan pendidikan anak.
