TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberlakukan tarif dasar 10 persen untuk semua produk impor ke Amerika Serikat serta bea masuk yang lebih tinggi untuk belasan mitra dagang terbesar negara tersebut.
Vietnam terkena tarif timbal balik resiprokal tertinggi 46%, sementara Indonesia terkena tarif 32%.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) mengambil langkah strategis.
Krakatau Steel berupaya meningkatkan efisiensi dan memperkuat pasar di Asia Tenggara serta Timur Tengah.
Direktur Utama Krakatau Steel, Muhamad Akbar Djohan, menyoroti pentingnya pembenahan tata niaga impor baja.
“Kami menekankan perlunya mengendalikan praktik perdagangan tidak adil seperti dumping dan subsidi, serta mengusulkan peran Krakatau Steel sebagai Pusat Logistik Baja untuk mengoptimalkan ketahanan industri nasional,” jelas Akbar dikutip Senin (7/4/2025).
Ia menyebut, Indonesia perlu memperkuat industri hilir, memperluas jaringan perdagangan ke wilayah lain, serta meningkatkan efisiensi dan daya saing industri dalam negeri.
Dengan langkah-langkah ini, Akbar meyakini industri baja Indonesia dapat tetap tangguh menghadapi ketidakpastian perdagangan global di masa depan.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan pentingnya regulasi yang kondusif untuk mendukung daya saing industri nasional.
“Regulasi yang kondusif menjadi kunci agar industri baja dan logam tetap bertahan. Kita harus memastikan kebijakan dalam negeri mendukung daya saing industri nasional,” ungkap Agus.
Tantangan tidak hanya berasal dari kebijakan global, tetapi juga tekanan internal. Meskipun ada ancaman proteksionisme, industri logam Indonesia menunjukkan pertumbuhan positif.
Realisasi investasi tahun 2024 mencapai Rp697,5 triliun, tumbuh 23,4% dibandingkan tahun 2023.
Sektor logam dasar menjadi penyumbang terbesar dengan nilai investasi Rp231,1 triliun.
Subsektor seperti industri logam dasar dan otomotif juga berkontribusi signifikan terhadap investasi asing langsung (PMA).