Gunung Semeru yang Memeluk Jenazah Soe Hok Gie

Gunung Semeru yang Memeluk Jenazah Soe Hok Gie

Pada 14 September 1969, tubuh Soe Hok Gie kedinginan. Saat itu, dia kesal pada Aristides yang mengigau sepanjang malam dan membuatnya tak bisa tidur.

“Lu sangat gelisah. Gue enggak mau lagi tidur di sebelah lu,” kata Aristides menirukan ucapan Soe Hok Gie, dalam Seri Buku Tempo: Gie dan Surat-surat Tersembunyi.

Kegelisahan Aristides itu berasal dari sebuah mimpi kecelakaan di gunung di mana terdapat tiga mayat. Aristides yang kala itu menjabat redaktur pelaksana Sinar Harapan, mengaku tak melihat jelas wajah ketiga jenazah dalam mimpinya tersebut.

Perjalanan pun dilanjutkan dengan Aristides berada di depan memimpin pendakian. Pandangannya tiba-tiba tertutup kabut.

“Saya melihat Semeru angker dan menakutkan. Saya seperti melihat maut,” ujarnya.

Hok Gie lalu mengambil alih komando, menjadi pemimpin perjalanan. Aristides melihat Hok Gie termenung di tengah-tengah perjalanan.

“Saya tanya kenapa, dia bilang, ‘Saya takut,’”ucap Aristides.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju Recodopo. Saat berada di ketinggian sekitar 3.300 meter di atas permukaan laut (mdpl), tim lantas membentangkan ponco untuk dijadikan shelter atau tempat peristirahatan dan meninggalkan tas dan tenda di sana.

Mereka hanya membawa minuman sebagai bekal menuju puncak. Rombongan kemudian dibagi dua kelompok. Aristides bersama Gie, Badil, Maman, Wiwiek, dan Freddy. Sementara itu, Herman bersama Idhan.

Mereka tiba di Puncak Mahameru menjelang sore. Namun, tenaga mereka habis karena bergelut dengan medan berpasir dan bebatuan. Gie menunggu Herman, yang tertinggal di belakang. Rekannya satu lagi, Maman tiba-tiba meracau. Aristides dan Freddy pun bahu-membahu membawa Maman kembali ke shelter.

Sebelum Badil turun, Gie sempat menitipkan batu dan daun cemara yang akan diberikannya kepada pacar-pacarnya di Jakarta. Dia juga menitipkan kamera milik Aristides.

“Nih, titip buat janda-janda gue,” ujar Badil menirukan Gie.

Herman dan Idhan akhirnya tiba di Puncak Mahameru. Idhan yang melihat Gie sedang duduk mengenakan kaus polo kuning UI pun ikutan duduk. Sedangkan Herman tetap berdiri.

Karena duduk itulah, kata Herman, Gie dan Idhan menghirup gas beracun yang massanya lebih berat daripada oksigen. Herman ingat betul kala itu kondisi Gie sudah lemas.

“Tahu-tahu dia enggak ngomong. Menggelepar,” tutur Herman.

Dia mencoba menuntun Gie turun ke shelter. Herman buru-buru mengecek pergelangan tangan Gie. Tak ada denyut nadi. Soe Hok Gie wafat. Tak lama, Idhan meninggal menyusul Gie.