JAKARTA – Alphabet, induk perusahaan Google, mengumumkan pada Selasa 18 Maret bahwa perusahaan asal Silicon Valley ini akan mengakuisisi Wiz dengan nilai sekitar 32 miliar dolar AS (Rp525,6 triliun ). Inimenjadikannya kesepakatan terbesar yang pernah dilakukan perusahaan teknologi selama ini.
Langkah ini bertujuan untuk memperkuat keamanan siber dalam layanan cloud computing, sekaligus meningkatkan daya saing Google Cloud terhadap Amazon Web Services (AWS) dan Microsoft Azure.
Akuisisi ini dilakukan secara tunai penuh, setelah sebelumnya Wiz menolak tawaran senilai 23 miliar dolar AS dari Alphabet pada tahun lalu. Pasalnya terdapat kekhawatiran terkait persetujuan antimonopoli serta rencana perusahaan yang ingin melangsungkan IPO (Initial Public Offering).
Mengakuisisi Wiz akan membantu Google meningkatkan bisnis cloud mereka dengan solusi keamanan siber berbasis AI (Artificial Intelligence). Teknologi ini memungkinkan perusahaan untuk mendeteksi dan menghilangkan risiko keamanan kritis, yang semakin penting seiring dengan meningkatnya penggunaan AI generatif seperti ChatGPT.
“Cloud menjadi semakin penting, dan para peretas tidak melambat. Mereka sudah menggunakan teknologi paling inovatif untuk bergerak lebih cepat,” ujar CEO Wiz, Assaf Rappaport, yang sebelumnya menyebut tawaran Google sebagai “penghormatan besar”.
Meskipun tahun 2024 menjadi tantangan bagi kesepakatan besar akibat ketatnya regulasi, optimisme di Wall Street meningkat bahwa kebijakan antimonopoli di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump dapat mempercepat momentum akuisisi besar seperti ini.
Google has signed a definitive agreement to acquire @Wiz_io – a significant step toward improving cloud security, lowering cost, and spurring the adoption of multicloud in the AI era → https://t.co/PflOF8REv4 pic.twitter.com/NorFo53nTC
— Google Cloud (@googlecloud) March 18, 2025
Startup Keamanan Siber yang Berkembang Pesat
Sebagai salah satu startup perangkat lunak dengan pertumbuhan tercepat, Wiz dihargai 12 miliar dolar AS (Rp197,1 triliun) dalam putaran pendanaan pada Mei 2024. Wiz bekerja sama dengan berbagai penyedia cloud seperti AWS, Microsoft Azure, dan Google Cloud, serta memiliki pelanggan besar seperti Morgan Stanley, BMW, dan LVMH.
Setelah akuisisi ini rampung, Wiz akan bergabung dengan bisnis Google Cloud, yang menghasilkan pendapatan lebih dari 40 miliar dolar AS (Rp657 triliun) pada tahun 2024. Pertumbuhannya bahkan melampaui bisnis pencarian Google dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun demikian, Wiz akan tetap menawarkan layanannya di berbagai penyedia cloud utama lainnya.
Alphabet memperkirakan kesepakatan ini akan selesai pada tahun 2026, bergantung pada persetujuan regulasi.
Analis D.A. Davidson, Gil Luria, menilai harga yang lebih tinggi ini mencerminkan pertumbuhan eksponensial Wiz dalam satu tahun terakhir. “Agar Google dapat bersaing dengan Microsoft Azure dalam menarik pelanggan enterprise, mereka perlu menawarkan rangkaian layanan yang lebih luas, termasuk perangkat lunak keamanan,” ujar Luria, dikutip VOI dari Reuters.
Ini bukan pertama kalinya Google melakukan akuisisi besar dalam sektor keamanan siber. Pada 2022, mereka mengakuisisi Mandiant senilai 5,4 miliar dolar AS (Rp88,6 triliun). Angka itu mengalahkan penawaran Microsoft dalam persaingan ketat.
Minat terhadap industri keamanan siber meningkat sejak insiden pemadaman global CrowdStrike tahun lalu yang mengganggu berbagai industri, mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengeluaran guna melindungi sistem mereka dari ancaman siber.
Saat ini, Google memiliki kas dan setara kas sebesar 23,47 miliar dolar AS per 31 Desember 2024, yang berarti mereka mungkin harus mencari pendanaan tambahan untuk menyelesaikan transaksi ini.
Alphabet sebelumnya mengalokasikan 75 miliar dolar AS untuk belanja modal tahun 2025, yang sebagian besar ditujukan untuk investasi dalam AI. Namun, mereka menyatakan bahwa rencana alokasi modal mereka tetap tidak berubah meskipun ada akuisisi ini.
Saham Google turun hampir 3% dalam perdagangan awal akibat pelemahan pasar secara keseluruhan. Tahun lalu, sahamnya naik sekitar 35%, tetapi mengalami penurunan 13% pada tahun ini karena kekhawatiran investor terkait pengeluaran besar untuk AI, terutama dalam menghadapi persaingan dari DeepSeek, perusahaan AI asal China dengan biaya produksi lebih rendah.