Gerakan Anti Empati Pejabat Publik Nasional 29 September 2025

Gerakan Anti Empati Pejabat Publik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 September 2025

Gerakan Anti Empati Pejabat Publik
Pengamat Komunikasi Politik dan Sosiologi Media
KOMUNIKASI
pejabat di ruang publik belakangan kerap menciptakan jarak, padahal komunikasi yang baik adalah barometer moral kekuasaan. Ucapan sembrono, candaan yang menyinggung, atau pernyataan yang abai pada penderitaan rakyat berulang kali terekam dan tersebar luas. Media sosial memperkuat dampaknya.
Kemarahan terhadap pernyataan seorang anggota DPRD Gorontalo baru-baru ini membuktikan hal tersebut. Candaan tentang “merampok uang negara” seketika berubah menjadi pemicu jarak emosional antara pejabat dan rakyat. Kasus ini hanyalah contoh terbaru dari gejala yang lebih luas. Seolah-olah para pejabat sedang terlibat dalam sebuah “gerakan” terstruktur anti-empati terhadap keterpurukan ekonomi rakyat hari ini.
Fenomena “gerakan” anti-empati dapat disimak dari pola yang berulang. Satu pejabat bergurau tentang uang negara, pejabat lain menuding korban bencana kurang bersyukur, yang lain sibuk memamerkan kemewahan ketika rakyat menghadapi krisis. Peristiwa ini tidak terjadi secara terpisah, melainkan menumpuk menjadi persepsi umum bahwa para pejabat kompak dan seirama dalam menolak sikap empati terhadap publik.
Data harta kekayaan pejabat sering memperkuat ironi. Dalam kasus Gorontalo, laporan LHKPN menunjukkan minus kekayaan. Publik memandang kontradiksi itu sebagai bukti bahwa pejabat tidak memahami arti pendapatan dan segala fasilitas mewah pejabat sebagai amanah. Ketika gaya hidup berseberangan dengan narasi penderitaan rakyat, ucapan sembrono menjadi lebih menyakitkan. Lantas, klarifikasi yang muncul biasanya dangkal: permintaan maaf singkat, alasan tidak sadar direkam, atau tuduhan diperas.
Alih-alih puas dengan jawaban teknis, publik menuntut pengakuan moral. Ketika itu absen, kepercayaan semakin terkikis. Krisis empati di pihak pejabat publik dan kepercayaan rakyat yang semakin tergerus merupakan alarm bahwa demokrasi kita tengah rapuh. Aktivitas politik tetap berjalan secara prosedural, tetapi bahasa lisan dan komunikasi non-verbal pejabat diam-diam terus pula memperlebar jarak.
Konsekuensinya, legitimasi runtuh bukan (hanya) disebabkan hukum, melainkan karena laku komunikasi yang gagal memelihara sensitivitas publik. Inilah inti dari “gerakan” anti-empati, ketika sekelompok pejabat, disadari atau tidak, berbicara dengan pola yang sama, mengabaikan luka rakyat yang dipimpinnya.
Mirisnya, serentetan blunder komunikasi itu tidak sekadar lewat, melainkan bermetamorfosis menjadi memori kolektif, tak akan terhapus di benak publik meskipun direvisi dengan klarifikasi. Ini memvalidasi prinsip
irreversible
dalam aktivitas komunikasi, bahwa pesan yang telah dikirim tidak dapat ditarik kembali atau diubah pengaruhnya, bahkan setelah permintaan maaf dilontarkan.
Bahasa, yang mewujud dalam laku komunikasi, adalah wajah kuasa. Robert Entman (1993) mengingatkan, pembingkaian kata dan kalimat menentukan makna yang diterima publik. Di etalase komunikasi publik kita hari ini, ucapan sembrono pejabat memposisikan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Publik menolak bingkai itu, merespons dengan bingkai tandingan, sementara pejabat seolah tetap tidak peduli.
Padahal, komunikasi dalam konteks apa pun mengedepankan urgensi dialog, sebagaimana ditekankan oleh model komunikasi dua arah simetris yang dikemukakan James E. Grunig dan Todd Hunt (1984). Publik butuh didengar. Ironisnya, pola komunikasi pejabat didominasi pola monolog. Klarifikasi hanya membela diri. Tidak ada ruang untuk mendengar. Bagi publik, pola ini sama artinya dengan penolakan empati.
Lebih jauh, fenomena ini sejatinya bukan khas Indonesia. Di Amerika Serikat, istilah
political gaffe,
menjelaskan bagaimana salah ucap bisa menggerus legitimasi. Mitt Romney jatuh karena menyebut “47 persen warga” tidak berharga. Di Inggris, komentar pejabat soal pandemi yang meremehkan korban juga jadi bumerang politik. Penelitian menunjukkan
gaffe
bukan sekadar salah bicara, tetapi jendela pikiran yang membuka jarak emosional.
Di Indonesia,
gaffe
pejabat datang beruntun. Setiap kali, publik menemukan pola yang sama, menipisnya rasa empati yang menyertai kuasa. Maka, muncul kesan seolah para pejabat berada dalam satu barisan yang menolak belajar dari pengalaman pejabat lainnya yang ceroboh berkomunikasi di depan rakyatnya. Dari perspektif rakyat, pola ini menyerupai sebuah “gerakan” anti-empati yang meluas.
Situasi makin kompleks dalam masyarakat informasi. Manuel Castells (1996) menyebut, informasi beredar lebih cepat daripada lembaga. Rakyat kini produsen sekaligus pengendali informasi. Potongan video, komentar, dan unggahan publik membentuk narasi yang lebih kuat daripada klarifikasi resmi. Reputasi pejabat bisa runtuh bahkan sebelum sidang etik dimulai.
Di tengah kondisi ini, bahasa kuasa diuji lebih keras. Publik menolak jargon panjang. Mereka menuntut kalimat singkat, jujur, dan menyentuh. Empati harus hadir dalam bentuk yang sederhana namun meyakinkan. Siapa pun yang gagal membaca logika masyarakat informasi akan segera tersapu arus kritik.
Jika “gerakan” ini terus dibiarkan, jawabannya bukan sekadar pemecatan individu, tetapi perombakan budaya. Kita membutuhkan etika baru dalam komunikasi pejabat publik. Etika yang menjaga laku bahasa, larangan humor yang melukai, dan aturan sikap yang menjaga martabat rakyat. Etika baru juga menuntut kepekaan empati.
Pejabat perlu belajar mendengar, bukan hanya berbicara. Mereka harus mampu memahami konteks sosial dan merespons kritik dengan rendah hati. Komunikasi krisis harus dipahami sebagai kesempatan membangun kembali kepercayaan, bukan sekadar menyelamatkan citra.
Selanjutnya, transparansi seyogyanya menjadi bagian dari bahasa moral. Publik berhak mengetahui laporan kekayaan, sumber pendapatan, dan pemakaian fasilitas negara. Tanpa keterbukaan, setiap ucapan pejabat akan dibaca dengan curiga. Oleh karena itu, transparansi adalah cara sederhana namun signifikan dalam meruntuhkan tembok ketidakpercayaan.
Partai politik pun harus konsisten. Pemecatan cepat memang penting, tetapi jika hanya reaktif pada kasus viral, publik melihatnya sebagai sandiwara. Etika baru menuntut konsistensi, semua pejabat wajib diperlakukan sama, terlepas dari pangkat atau popularitasnya.
Sekali lagi, empati merupakan fondasi kekuasaan. Pejabat yang peduli secara tulus akan nasib rakyat sudah pasti akan dihormati. Demokrasi niscaya semakin kokoh bila pejabat publik menyadari bahwa laku komunikasi mereka adalah cermin moral. Dengan berkomunikasi berlandaskan kepekaan empati, pejabat berpeluang merebut kembali hati rakyat. 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.