PIKIRAN RAKYAT – Gencatan senjata antara Israel penjajah dan Iran akhirnya diumumkan dan mulai berlaku pada Senin malam. Namun, alih-alih menjadi momen diplomasi yang tenang, justru menjadi ajang kemarahan terbuka Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang dengan keras menegur sekutunya sendiri, Israel penjajah, hanya beberapa jam setelah kesepakatan diumumkan.
Kesepakatan gencatan senjata ini dimediasi oleh Amerika Serikat dan Qatar, menyusul dua pekan pertempuran sengit antara Israel penjajah dan Iran yang mengakibatkan ratusan korban jiwa dan meluluhlantakkan infrastruktur militer di kedua negara.
“Saya tidak senang dengan mereka. Saya juga tidak senang dengan Iran. Tapi saya sangat tidak senang jika Israel bergerak pagi ini,” ujar Donald Trump dengan nada tinggi di halaman Selatan Gedung Putih, Selasa 24 Juni 2025, sebelum berangkat ke pertemuan NATO di Den Haag, Belanda.
Trump Meledak: “Israel, Jangan Jatuhkan Bom Itu!”
Donald Trump, yang sebelumnya membanggakan keberhasilan diplomatiknya di aplikasi Truth Social, berubah drastis saat mengetahui Israel penjajah kembali meluncurkan serangan udara ke Iran setelah gencatan senjata diumumkan. Dia mengunggah peringatan keras:
“ISRAEL. JANGAN JATUHKAN BOM-BOM ITU! JIKA KAMU MELAKUKANNYA, ITU ADALAH PELANGGARAN BESAR. BAWA PILOT-PILOTMU KEMBALI, SEKARANG!”
Seruan itu bukan sekadar cuitan kemarahan. Menurut laporan di Washington, Trump bahkan secara langsung mengontak Perdana Menteri Israel penjajah Benjamin Netanyahu dan meminta serangan dihentikan. Israel penjajah kemudian mengakui hanya melakukan “satu serangan lanjutan” sebelum menghentikan operasi.
Ketegangan Internasional dan Salahkan-Menyalahkan
Kemarahan Trump meledak karena kedua pihak, Iran dan Israel penjajah, diduga melanggar kesepakatan. Trump menyebut Iran “melanggar”, tapi dalam pernyataan tegas ia juga menyalahkan Israel penjajah.
“Saya harus membuat Israel tenang. Israel, segera setelah kami membuat kesepakatan, mereka keluar dan menjatuhkan banyak bom, yang belum pernah saya lihat sebelumnya,” ujar Trump.
Sikap ini menandai jarak yang mencolok antara AS dan Israel penjajah dalam kebijakan luar negeri – sesuatu yang sangat jarang terjadi secara terbuka.
Iran Sambut Gencatan Senjata, Klaim Kemenangan
Di Teheran, Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyebut gencatan senjata sebagai kemenangan besar. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa Iran hanya membela diri dari agresi Israel penjajah.
“Hari ini, setelah perlawanan heroik dari bangsa besar kita, kita menyaksikan akhir dari perang 12 hari yang dipaksakan oleh petualangan dan provokasi Israel,” kata Pezeshkian dalam pernyataan resmi.
Pezeshkian juga memberi sinyal bahwa Iran terbuka terhadap pembicaraan damai, terutama setelah mendapat pernyataan moderat dari Trump bahwa ia tidak mendukung perubahan rezim di Iran.
AS-Iran-Israel: Gencatan Senjata yang Rawan Retak
Meski pertempuran terhenti sejak Selasa sore dan drone serta roket tak lagi melintas, situasi masih rapuh. Menteri Pertahanan Israel penjajah, Israel Katz menyatakan pihaknya siap melakukan serangan lanjutan jika Iran kembali meluncurkan rudal.
Iran, di sisi lain, membantah telah melanggar kesepakatan. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan bahwa negaranya tak akan menyerang kecuali diserang.
“Keputusan akhir mengenai penghentian operasi militer kami akan dibuat kemudian,” kata Araghchi.
Serangan AS dan Pertaruhan Gencatan Senjata
Sebelum kesepakatan tercapai, AS sempat terlibat langsung dalam operasi udara terhadap tiga situs nuklir Iran, termasuk kompleks Fordow yang dilindungi secara ketat. Serangan ini mengklaim menewaskan lebih dari 400 orang di Iran. Sebagai balasan, Iran meluncurkan ratusan rudal, yang untuk pertama kalinya menembus sistem pertahanan udara Israel penjajah secara masif dan harian, menewaskan 28 orang.
“Kami memiliki dua negara yang telah bertempur begitu lama dan keras sehingga mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan,” kata Trump dengan nada frustrasi.
Netanyahu Akhirnya Mengalah?
Pemerintah Israel penjajah, dalam pernyataannya, mengakui melakukan satu serangan tambahan di dekat Tehran namun menyatakan menghentikan operasi lebih lanjut atas permintaan Amerika Serikat. Langkah ini disebut-sebut sebagai hasil langsung dari tekanan diplomatik dan kemarahan terbuka Trump.
Menurut jurnalis Al Jazeera, Phil Lavelle, perasaan “dikhianati” tampak jelas di wajah Trump saat menyampaikan komentarnya.
“Dia marah kepada Israel dan Iran. Tapi Anda benar-benar bisa merasakan beberapa kemarahan ekstra di sana, kemarahan ekstra itu ditujukan kepada Israel,” ujar Lavelle, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Al Jazeera.***
