Surabaya (beritajatim.com) – Di tengah gempuran teknologi dan derasnya arus informasi, sosok Raden Ajeng Kartini dan peringatan Hari Kartini pada 21 April ternyata masih melekat di benak generasi muda,
khususnya Generasi Z (Gen Z) di Surabaya dan sekitarnya. Survei terbatas yang dilakukan StatsMe dalam tujuh hari, melibatkan 109 responden yang tersebar di Pulau Jawa dan Sulawesi, dengan mayoritas (sekitar 80 persen) berasal dari Jawa Timur, menunjukkan hal tersebut.
Survei yang menyasar langsung Gen Z ini bertujuan untuk melihat bagaimana generasi yang tumbuh di era digital ini memandang ketokohan RA Kartini dan relevansi Hari Kartini di tengah isu-isu modern seperti *gender equality*, *gender equity*, feminisme, dan *independent women*.
Hasilnya cukup menggembirakan. Sebanyak 82,57 persen responden masih mengingat bahwa 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Bahkan, RA Kartini hingga kini masih identik dengan emansipasi. Namun, makna emansipasi di mata Gen Z Surabaya telah mengalami pergeseran. Jika dulu identik dengan kesetaraan akses pendidikan, kini maknanya meluas.
“Hari-hari ini, makna emansipasi saat ini sudah bergeser menjadi lebih luas. Tidak hanya tentang kesetaraan akses di dunia pendidikan,” terang Direktur StatsMe Lussi Agustin pada Sabtu (19/4).
Sebanyak 58 persen responden mengaitkan emansipasi dengan konsep kesetaraan gender. Sementara, 18 persen responden lainnya menilai emansipasi sebagai kebebasan dan kemandirian perempuan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, baik dalam pendidikan, karier, maupun peran dalam keluarga dan masyarakat. Sebanyak 24 persen responden masih menganggap emansipasi erat kaitannya dengan perjuangan perempuan, selaras dengan jejak langkah RA Kartini.
**Sekolah Memainkan Peran Sentral**
Survei juga mengungkap bahwa sekolah memiliki peran yang sangat signifikan dalam melestarikan semangat Kartini di kalangan Gen Z. Sebanyak 64,22 persen responden menilai ketokohan RA Kartini sebagai pejuang emansipasi perempuan Indonesia sangat berpengaruh, dan 32,11 persen lainnya menyebut berpengaruh.
Menariknya, Gen Z menyatakan bahwa sekolah menjadi sumber utama informasi dan pengetahuan tentang RA Kartini. Peringatan Hari Kartini pun masih dominan dilakukan di lingkungan pendidikan. “Rupanya, segala bentuk peringatan maupun perayaan yang sifatnya seremonial, seperti memakai baju adat pada tanggal 21 April atau perlombaan Hari Kartini, penting bagi generasi muda. Buktinya, hal-hal yang seremonial itulah yang justru membuat mereka selalu ingat pada RA Kartini dan ingat bahwa 21 April adalah Hari Kartini,” papar Lussi.
Sebanyak 63 persen responden menyebut sekolah sebagai tempat terakhir kali mereka memperingati Hari Kartini. Menurut Lussi, hal ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah di berbagai wilayah, termasuk Surabaya dan sekitarnya, masih rutin menggelar peringatan Hari Kartini.
Tantangan Kesetaraan Gender Masih Nyata
Meskipun semangat Kartini masih terjaga, survei StatsMe juga menyoroti bahwa mewujudkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) mengalami penurunan tipis sebesar 0,012 poin menjadi 0,447 pada 2024, namun angka ini masih menunjukkan adanya ketidaksetaraan.
Responden survei mengungkapkan bahwa budaya patriarki menjadi tantangan utama bagi perempuan dalam mencapai kesetaraan gender (52,29 persen). “Ada banyak sekali anggapan miring terhadap perempuan dalam masyarakat akibat budaya patriarki yang kental. Ini tentunya sangat disayangkan,” ungkap Lussi. Ia mencontohkan anggapan bahwa pendidikan perempuan tidak terlalu penting, atau anggapan bahwa perempuan mandiri secara finansial akan merendahkan laki-laki.
Selain budaya patriarki, kesenjangan dalam kesempatan kerja dan karier juga menjadi hambatan serius (36,7 persen). Hal ini terlihat dalam peluang promosi, ketimpangan upah, dan stereotip negatif terhadap kemampuan perempuan di sektor tertentu. “Itu membuat perempuan harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan dan posisi yang sama dengan laki-laki,” tandas Lussi.
Lussi menekankan perlunya partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, serta konsistensi dalam upaya untuk mengubah pandangan dan struktur sosial yang menghambat kesetaraan gender.[rea]
