JAKARTA – Garda Pencipta Lagu (Garputala), sebuah gerakan yang memperjuangkan kesejahteraan para penulis lagu di Indonesia, menyuarakan keluhan atas peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam tata kelola royalti musik.
Seperti diketahui, LMKN bertugas untuk menghimpun royalti musik dari para pengguna. Sementara, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) akan mendistribusikan royalti kepada penulis lagu, pemegang hak cipta, dan hak terkait.
Adapun, keluhan Garputala disampaikan dalam Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tentang RUU Hak Cipta beberapa waktu lalu.
Mewakili Garputala, Suseno, yang juga menjabat Managing Director Wahana Musik Indonesia (WAMI), menyuarakan pandangan kritis dan tajam mengenai peran LMKN dan potensi kerugian royalti musik digital Indonesia yang mencapai triliunan rupiah.
Kekhawatiran utama yang disampaikan adalah hilangnya potensi penerimaan royalti dari lagu-lagu asing yang diputar di platform digital (DSP) di Indonesia.
Suseno menegaskan, potensi royalti Rp 5 triliun yang disebut LMKN—pada Rapat Baleg sebelumnya—bisa tercapai, namun dengan satu syarat krusial: penetapan aturan teritori yang jelas dalam Undang-Undang.
“Teritori ini adalah semua lagu yang diputar di Indonesia di digital ini, itu harus di-collect oleh LMK di Indonesia,” kata Suseno.
Saat ini, banyak lagu asing yang diputar di dalam negeri, namun LMK Indonesia tidak memiliki mandat untuk menarik royaltinya. “Itu yang meng-collect adalah negara lain, dari Hong Kong, dari Australia. Nah, ini kita kehilangan sampai triliunan ini,” keluhnya.
Masalah yang disoroti Suseno adalah peran LMKN yang dianggap tumpang tindih dan bahkan menghambat pengkoleksian royalti, terutama di ranah digital.
Suseno dengan tegas menyarankan agar DPR RI mempertimbangkan common practice global. “Karena dalam praktik umum di dunia ini, LMKN itu tidak ada,” tegasnya.
LMK di negara lain seperti Jepang (JASRAC) dan Korea (KOMCA) menjalankan fungsi koleksi sepenuhnya, sementara keterlibatan negara hanya sebagai regulator yang kuat.
Ia mengusulkan agar LMKN sebaiknya bertindak layaknya Bank Indonesia—sebagai regulator, yang berwenang mengaudit, menetapkan tarif, namun tidak melakukan collection.
Suseno memaparkan kasus di mana LMKN ingin melakukan koleksi digital, tetapi DSP besar meragukan mandat mereka. Bahkan, ia mengungkap skema terbaru dari LMKN yang terlalu rumit.
Kondisi ini, ditambah beban biaya operasional sebesar 8 persen dari royalti yang berhasil dihimpun dan harus dibagi dua, membuat LMK seperti WAMI kesulitan dan pada akhirnya merugikan pencipta karena adanya pemotongan tambahan.
Suseno menekankan, jika LMKN dipertahankan sebagai badan untuk menghimpun royalti, Indonesia akan dianggap mundur lima tahun ke belakang, khususnya dalam hal digitalisasi.
