FSGI Sebut Korban Keracunan MBG Bisa Tuntut Ganti Rugi ke Negara

FSGI Sebut Korban Keracunan MBG Bisa Tuntut Ganti Rugi ke Negara

JAKARTA – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai korban keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) memiliki dasar hukum untuk menuntut ganti rugi kepada negara.

Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menegaskan, kasus yang menimpa ribuan peserta didik akibat mengonsumsi makanan MBG merupakan bentuk kesalahan layanan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum.

“Keracunan yang dialami peserta didik akibat makanan MBG adalah kesalahan layanan badan dalam negara yang dapat dituntut ganti kerugian kepada negara berupa perbaikan kesehatan dan kompensasi tertentu,” kata Retno dalam keterangannya, Kamis, 2 Oktober.

Retno menekankan, korban keracunan dapat menuntut ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal tersebut berbunyi, “tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.

Ganti rugi yang bisa diajukan korban mencakup dua aspek, yakni kerugian materiil berupa biaya nyata yang diderita, serta kerugian immateriil atau hilangnya harapan.

“Ganti kerugian dapat diajukan kepada negara dengan melihat dampak. Melihat dampak dapat disimpulkan ada kesalahan yang berdampak menimbulkan kerugian,” ujar Retno.

Menurut Retno, kesalahan dapur MBG dalam penyediaan makanan seharusnya tunduk pada ilmu kesehatan gizi. Namun belum ada aturan yang merumuskan sanksi bagi juru masak maupun ahli gizi yang lalai.

Retno mencatat sejumlah persoalan mendasar dalam program MBG. Pertama, penggunaan anggaran MBG yang berasal dari APBN tidak tunduk pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sehingga mekanisme pengawasan menjadi lemah.

Kedua, kerja sama antara Badan Gizi Nasional (BGN), mitra dapur MBG, dan sekolah hanya didasarkan pada MoU, bukan kontrak yang diawasi lembaga berwenang. Padahal, MoU tunduk pada Pasal 1320 KUH Perdata dan seharusnya mengikat secara hukum.

Ketiga, pengalokasian anggaran MBG dilakukan atas dasar diskresi pemerintah, sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah. Hal ini membuat perubahan anggaran tidak masuk klasifikasi pelanggaran hukum, tetapi berpotensi menimbulkan masalah tata kelola.

Keempat, FSGI menyoroti rencana pengalihan anggaran pendidikan 2026 untuk MBG yang dinilai dapat mengancam tunjangan profesi guru. “Jika hak tunjangan profesi guru dihapus atau ditunda demi MBG, maka jelas melanggar UU Nomor 14 Tahun 2005,” tegas Retno.

Dari kejadian ini, Retno menilai pemerintah wajib mengobati dan memulihkan kesehatan korban keracunan MBG serta memberikan kompensasi tambahan. Selain itu, program MBG perlu diperbaiki tanpa menghentikan dapur, agar layanan gizi tetap berjalan dengan pengawasan ketat.

Kemudian, dana pendidikan untuk MBG tidak boleh menghilangkan hak guru penerima tunjangan profesi. MBG juga harus membawa manfaat bagi anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui, sekaligus tetap melindungi kesejahteraan guru.

“Program MBG seharusnya menjadi berkah, bukan menimbulkan kerugian dan keresahan di masyarakat. Negara harus hadir dan bertanggung jawab,” pungkas Retno.