Bojonegoro (beritajatim.com) – Bojonegoro kini dihadapkan pada sebuah ironi. Kabupaten yang makmur karena pendapatan daerahnya didominasi Dana Bagi Hasil (DBH) Migas, justru berhadapan dengan tantangan krisis iklim akibat ketergantungan pada energi fosil. Sekitar 50–60 persen pendapatan Bojonegoro bersumber dari DBH Migas, menempatkannya pada posisi strategis untuk mengarahkan sebagian pendapatan tersebut ke pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Pertanyaan mengenai arah penggunaan “uang minyak” menjadi sorotan utama dalam Forum Kajian Pembangunan Daerah (FKPD) yang digelar Bojonegoro Institute (BI), Selasa (11/11/2025) di Gedung EJSC Bakorwil. Forum yang didukung Ford Foundation ini mengangkat tema “Mengapa Harus Beralih ke Energi Bersih yang Berkeadilan?” dengan fokus mendorong akuntabilitas pemanfaatan DBH Migas untuk mendukung transisi energi bersih.
Direktur Bojonegoro Institute, AW Syaiful Huda, menegaskan bahwa transisi energi tidak bisa dilihat hanya sebagai pergantian teknologi dari fosil ke terbarukan. Lebih dari itu, ini adalah soal keadilan sosial dan ekologis.
“Transisi energi harus dimulai dari daerah,” tegas Syaiful Huda. Ia menambahkan, Bojonegoro memiliki tanggung jawab moral untuk memimpin upaya pengurangan emisi dan memperkuat energi terbarukan yang berpihak pada rakyat kecil. “Bojonegoro bisa menjadi contoh bagaimana sumber daya alam dikelola bukan hanya untuk ekonomi, tetapi juga untuk keberlanjutan hidup generasi mendatang,” ujarnya.
Ahli Kebijakan Transisi Energi dari Yayasan Indonesia Cerah, Naomi Larasati, menambahkan bahwa isu transisi energi sering kali dianggap elitis, padahal dampaknya sangat nyata bagi masyarakat lokal. “Sebagai wilayah penghasil migas, Bojonegoro punya hak yang kuat untuk menjadi contoh daerah yang sadar akan pentingnya transisi energi,” katanya.
Naomi menekankan, dampak krisis iklim kini dirasakan langsung oleh masyarakat — mulai dari petani yang gagal panen hingga nelayan yang kesulitan melaut. “Karena itu, transisi energi harus berkeadilan dan No One Left Behind (Tak Ada yang Tertinggal),” ujarnya.
Senada, Wakil Pimpinan Katadata Green, Jeany Hartrianti, menyebut bahwa isu krisis iklim adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Ia mendorong agar kesadaran publik dibangun lewat kolaborasi berbagai pihak. “Masyarakat bisa berkampanye dengan bermacam cara. Baik lewat media sosial maupun perbincangan sehari-hari,” ujarnya.
Forum yang dihadiri aktivis, akademisi, perwakilan NGO lokal, dan media tersebut berlangsung partisipatif. Di akhir sesi, para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok kerja (pokja) untuk menetapkan isu prioritas yang akan dikawal di Bojonegoro, seperti transisi energi bersih, kedaulatan pangan, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan skema pendanaan lingkungan termasuk pembentukan dana abadi.
Melalui forum ini, diharapkan lahir jejaring kerja sama konkret antara masyarakat, akademisi, dan pemerintah untuk mendorong model transisi energi yang adil dan berkelanjutan dari tingkat daerah hingga desa. [lus/beq]
