Ramadan menjadi salah satu bulan istimewa yang ditunggu kaum muslim setiap tahun. Banyak sekali momentum Ramadan yang dirindukan umat Islam, seperti sahur, salat tarawih, bertadarus di masjid atau musala, berburu takjil, dan kegiatan lainnya yang hanya terjadi selama Ramadan.
Allah juga mengistimewakan Ramadan dengan menjadikannya sebagai waktu diturunkannya Al-Qur’an. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah: 185
ِِۚناَقرُْفْالَى وٰدُهْالَِن ٍتمٰنِ يَبَِسواَِّ لن ى لًدُهُنٰارُْقِْهالِْفيِلَزْنُآِْذيَّْالَانضََمَررُْهَش
Pembahasan mengenai Ramadan tidak akan terlepas kaitannya dengan puasa. Berpuasa pada Ramadan menjadi kewajiban yang harus dijalankan semua umat muslim. Hal ini sudah sangat jelas dipaparkan dalam QS Al-Baqarah: 185
ُهْمصَُيْلَفَرْهَّالشُمُكِْمنَِ دهَشْنَمَف
“Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah”.
Berpuasa juga termasuk salah satu rukun islam yang wajib dilaksanakan umat muslim. Makna puasa secara harfiah berarti al-imsak atau menahan. Dari makna etimologi inilah puasa didefinisikan secara terminologi sebagai kegiatan menahan diri dari berbagai hal yang membatalkan puasa, mulai waktu sahur hingga terbenamnya matahari. Pengertian inilah yang banyak dipahami oleh mayoritas umat muslim di berbagai penjuru dunia.
Pemaknaan lahir ini menimbulkan kekhawatiran tentang makna sejati dari ibadah puasa. Banyak umat muslim yang akhirnya melakukan ibadah puasa sebatas untuk menggugurkan kewajiban. Mereka yang tidak terlalu merenungi pemaknaan puasa yang sebenarnya hanya akan mendapatkan rasa lapar dan haus tanpa merasakan hikmah dan nikmat di balik ibadah tersebut.
Pendekatan yang bisa digunakan dalam permasalahan tersebut adalah mencoba memahami makna yang tersirat dari perintah berpuasa. Pemahaman makna dengan lebih detail dan mendalam bisa diperoleh melalui pendekatan filosofi. Berfilsafat merupakan sebuah kegiatan berpikir secara mendetail dan mendalam, bahkan hingga batas rasio yang tidak mampu lagi untuk diselesaikan.
Mengkaji suatu ilmu keislaman dengan menggunakan pendekatan filosofi mengakibatkan segala sesuatu akan dititikberatkan kepada suatu konteks. Faedah dilakukannya kajian filosofi dalam rumpun keagamaan Islam adalah agar hakikat, hikmah, dan pokok ajaran agama bisa memberikan makna dan manfaat bagi siapa pun yang memahaminya. Dengan demikian, seseorang yang bisa memahami filosofi puasa tidak akan mengeluh dan bosan menjalankannya.
Salah satu ulama sekaligus filsuf Islam yang sangat terkenal adalah Syaikh Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Arabi at-Tamimi atau yang masyhur dikenal sebagai Syaikh ibn ‘Arabi. Beliau merupakan seorang sufi terkemuka yang dianggap mampu berfilsafat tentang pengalaman kehidupan spiritual dalam pandangan metafisika.
Syaikh ibn ‘Arabi banyak sekali membahas kajian-kajian agama melalui pendekatan filsafat dan sufistik. Salah satu pembahasannya bisa dilihat dalam karya fenomenal berjudul Al-Futuhat Al-Makkiyyah.
Syaikh ibn ‘Arabi mengartikan puasa sebagai irtafa’ (meninggikan). Puasa dianggap sebagai ibadah yang lebih tinggi daripada ibadah lainnya. Puasa secara hakikat menurut ibn ‘Arabi diungkapkan sebagai tark la ‘amal (tiada tindakan dan bukan juga sebuah tindakan).
Jika dilihat dari definisi tersebut, puasa memang pada hakikatnya merupakan ibadah. Ketika seseorang melakukan salat, dia akan melakukan pergerakan mulai dari takbirah al-ihram sampai salam. Ibadah puasa tidaklah demikian, sehingga ibn ‘Arabi menyebutnya sebagai tark la ‘amal.
Pengertian ini kemudian disandarkan kepada firman Allah kepada Zat-Nya dalam QS Asy-Syura 11,“Laysa ka mitslih sya’un” (tidak ada sesuatu pun yang menyeruapi-Nya).
Syaikh ibn ‘Arabi mengutip sebuah hadis Rasulullah yang di-takhrij oleh Imam Nasa’i,”’alaik bi as-sawm, fa innahu la mitsla lahu.” Hadis inilah kemudian bisa disimpulkan bahwa ibadah puasa adalah suatu ibadah yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya yang tidak ada padanannya. Penisbatan ini juga disebutkan dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim:
كل عمل ابن آدم له إال الصيام فإنه لي و أنا أجزي به
“Semua amal perbuatan anak turun Nabi Adam adalah miliknya kecuali puasa, karena amal puasa adalah milik-Ku dan aku yang akan membalasnya.”
Syaikh ibn ‘Arabi juga menyebutkan bahwa orang yang berpuasa itu laksana terilhami sifat Allah As-Samadaniyyah. Sifat ini merupakan sifat puncak Allah yang menjadi tempat untuk meminta segala sesuatu dan tidak ada lagi yang ada diatas-Nya.
Orang yang berpuasa dianalogikan sebagaimana sifat tersebut. Pada hakikatnya orang yang berpuasa berada pada puncak ibadah dan tidak membutuhkan apa-apa lagi. Sederhananya, saat seorang muslim sedang melakukan puasa, dia sudah tanzih (membersihkan diri) dari kebutuhan dunianya, seperti makan, minum, bersetubuh dengan istri/suami, dan sifat hewan lainnya.
Penisbatan sifat ini melahirkan pernyataan baru bahwa orang yang berpuasa sama dengan melakukan zuhud. Sebagaimana diungkapkan:
9 إن الصوم يشمل كل الطريقة ألنه في حقيقته زهد
“Puasa pada hakikatnya adalah zuhud.”
Syaikh Ibn ‘Arabi menggubah syair yang mendeskripsikan zuhud:
و سراج نفسك نوره متعلق بجميع ما في الكون من أمر
فاطف السراج يزول كل تعلق فالزهد فيك كليلة القدر
Syaikh Ibn ‘Arabi mengungkapkan bahwa dalam diri manusia ada sebuah pelita yang cahayanya akan selalu bergantung pada semua yang ada. Cara menghilangkan ketergantungan itu dengan memadamkan pelita tersebut. Dari sinilah muncul sifat zuhud. Zuhud digambarkan oleh Syaikh ibn ‘Arabi laksana keutamaan Lailatulqadar yang cahayanya tidak akan pernah padam.
Dari pemaparan tersebut, terlihat bagaimana keutamaan puasa dikaji dari pendekatan filosofi. Seseorang yang berpuasa berarti melaksanakan ibadah yang tiada padanannya dengan hikmah zuhud yang didapatkannya. Bahkan, Allah mengistimewakannya dengan menisbatkan sifat-Nya dan menyamakannya dengan firman-Nya,”Laysa kamitslihi syai’un.” Oleh karena itu, tidak akan ada lagi keluhan dari kaum muslimin yang melaksanakan ibadah puasa.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).
