Takjil secara bahasa asalnya berasal dari bahasa Arab yang telah diserap kedalam bahasa Indonesia, sehingga telah membudaya dalam masyarakat Indonesia istilah “Berburu Takjil”, Takjil secara bahasa dari kata ‘ajjala-yu‘ajjilu-ta’jilan yang memiliki arti bersegera atau menyegerakan.
Kata Takjil ini Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), takjil berarti mempercepat untuk segera berbuka puasa. Istilah takjil diambil dari hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, yang berbunyi,”Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (ajala) berbuka.”
Dapat disimpulkan, arti takjil dalam Islam adalah perintah untuk menyegerakan berbuka puasa. Kata takjil ini sudah umum ditelinga masyarakat Indonesia dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk istilah berburu kuliner untuk berbuka puasa. Rasulullah SAW pun pernah bersabda tentang takjil ini, beliau bersabda:
عن سهل بن سعد الساعدي رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يزال الناس بخير ماعَجَّلُوا الفطر (رواه البخاري)
Artinya: Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d al-Sa’idi RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Orang-orang senantiasa akan selalu bersama dengan kebaikan, selama mereka masih menyegerakan buka puasa”
Sebagai negara yang memiliki pemeluk agama Islam terbesar didunia, takjil ini merupakan salah satu cipratan dari banyaknya berkah bulan suci Ramadan untuk para penjual kuliner dan para pembeli yang menginginkan lezatnya kuliner tersebut. Berbicara tentang ritual dan tradisi takjil ini, dalam laporan De Atjehers, yang ditulis oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad ke-19. disebutkan bahwa masyarakat lokal Aceh telah mengadakan buka puasa yang disegerakan (takjil) di masjid secara beramai-ramai dengan bubur pedas.
Kue Bingka Kentang di pasar Ramadan Kota Palangka Raya. – (Beritasatu.com/Andre Faisal Rahman)
Riwayat lain menyebutkan bahwa takjil menjadi salah satu sarana dakwah Wali Songo, yang menyebarkan Islam di Jawa sejak sekitar abad ke-15. Pada tahun 1950 di kota Yogyakarta tradisi takjil juga sudah dilakukan di masjid Kauman. Takjil berkembang disegala sudut diperkotaan dan pedesaan, dari penjual jajanan kecil sampai beranekaragam kuliner dan makanan berat yang berderet diantara pinggir jalan. Dari jajanan yang gurih sampai asinan dan manisan, dari berbagai minuman, buah-buahan dan berbagai resep makanan yang bermacam-macam dari berbagai daerah diIndonesia.
Fenomena takjil ini mendorong banyak masyarakat tanpa memandang Agama dan ras untuk saling mengikuti bagaimana rasanya “War Takjil” ditengah ramainya para penjual yang sedang mencari rizki. Tidak hanya umat muslim, tapi Non-Muslimpun dapat merasakan bagaimana keseruan berburu takjil diwaktu sore menjelang berbuka puasa.
Banyak komunitas dan grup-grup para pemuda bahkan banyak para mahasiswa yang berinisiatif untuk membagikan jajanan takjil dibulan Ramdan, komunitas tersebut berdiri berbaris sepanjang jalan dan membagikan takjilnya kepada para pengendara motor maupun mobil yang sedang berlalulintas melewati mereka.
Dengan senang hati dan bahagia para pengendara motor dan mobilpun menerima takjil yang diberikan kepada mereka. Hal demikian pula dirasakan para pemberi takjil. Takjil yang diberikan akan menjadi sedekah untuk para musafir dan pengendara jalan yang sedang menunaikan ibadah puasa. Dengan demikian akan menciptakan interaksi yang bagus antar kalangan masyarakat dan membentuk kerukunan dan rasa saling toleransi yang tinggi. Bahkan ada diantara pemeluk agama yang berbeda mengatakan “Agamamu agamamu, Takjilmu takjilku…”.
Peristiwa yang demikian ini dapat menambah toleransi yang kuat diantara umat beragama bahkan bisa menghadirkan pengaruh yang positif dikalangan lapisan masyarakat serta menjadi alat persatuan dalam menjaga adat dan budaya masyarakat Indonesia. Suasana takjil dan fenomea-fenomenanya ini membawa implikasi terhadap masyarakat yang positif diantaranya:
Takjil, yang semula hanya dipahami sebagai sekadar hidangan ringan untuk berbuka puasa pada bulan Ramadan, ternyata menyimpan narasi mendalam tentang perjalanan kebangsaan Indonesia. – (Freepik/Odua)1. Meningkatkan solidaritas sosial
Manusia yang hidup berdampingan selalu akan membutuhkan satu sama yang lainnya dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Ritual keagamaan, gotong royong dalam bekerja hingga jual beli dan bahkan sampai pada hal-hal yang paling kecil. Mukmin satu dengan mukmin yang lain itu satu kesatuan seperti halnya sebuah bangunan, yang menguatkan diantara satu dan lainnya”. Oleh sebab itu “Takjil” dapat juga dikategorikan sebagai bentuk solidaritas sosial antara mukmin yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan, antara penjual dan pembeli sama saling menguatkan.
2. Mendukung Ekonomi warga lokal
Tentu saja penjual takjil akan terbantu dengan adanya aktivitas jualan takjil ini, dengan demikian aktivitas jual takjil ini membantu para penjual mendapatkan penghasilan tambahan selama bulan Ramadan. Bahkan dalam hal ini terdapat Hadits yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Artinya: “Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR Tirmidzi, No 807; Ibnu Majah, No 1746, sahih menurut Al-Albani)
Makna dari hadits tersebut adalah menunjukkan keutamaan memberi makanan berbuka, yang dalam konteks takjil bisa berupa sedekah makanan kepada sesama. Oleh sebab itu, Dengan meningkatnya aktivitas berburu takjil dan berbagi makanan, ekonomi warga juga ikut bergerak. Begitu juga yang pernah disampaikan oleh
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, beliau menjelaskan: “Memberi makan kepada orang lain adalah bentuk kebaikan yang utama, karena mengandung unsur kepedulian terhadap sesama serta membantu orang lain untuk menjalankan ibadah dengan baik.”
3. Membentuk kesadaran spiritual
Takjil bukan hanya sekedar makanan pembuka puasa, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam dalam membentuk kesadaran keagamaan seorang Muslim. Imam Ibn Rajab dalam Latha’if al-Ma‘arif pernah menjelaskan bahwa “Puasa itu mengajarkan seseorang untuk merasakan penderitaan orang-orang miskin, dan berbuka dengan sederhana adalah cara untuk mensyukuri nikmat Allah.”
Dengan berbuka secukupnya dan tidak berlebihan, seseorang lebih merasakan makna ibadah puasa sebagai bentuk penyucian diri. Kesadaran akan nikmat yang diberikan Allah tumbuh lebih kuat, mendorong seseorang untuk lebih banyak bersedekah dan beribadah dengan khusyuk.
Guna membantu para pemudik yang kesulitan mencari makanan takjil di jalur selatan Nagreg, Kabupaten Bandung, sejumlah awak media yang tergabung salam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Bandung membagikan ratusan paket makanan takjil, Senin, 8 April 2024. – (Beritasatu.com/Aep)4. Meningkatkan toleransi dan keharmonisan dalam beragama
Tradisi berburu dan berbagi takjil selama Ramadan tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi dan spiritual, tetapi juga memiliki peran penting dalam membangun toleransi dan keharmonisan antarumat beragama. Di banyak tempat misalnya, takjil tidak hanya dikonsumsi oleh Muslim, tetapi juga menjadi momen berbagi dengan tetangga atau teman yang berbeda keyakinan. Masyarakat yang majemuk sering mengadakan kegiatan berbagi takjil secara kolektif, melibatkan orang dari berbagai latar belakang agama, memperkuat rasa kebersamaan. Dengan memahami bahwa semua manusia adalah ciptaan Allah, sikap hormat dan kasih sayang kepada orang lain, termasuk non-Muslim, menjadi bagian dari ajaran Islam. Tradisi berbagi takjil dapat menjadi sarana memperkuat rasa persaudaraan universal tanpa melihat perbedaan agama.
Demikianlah bahwa fenomena berburu takjil bukan sekadar tradisi musiman saat Ramadan, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Tradisi ini memperkuat nilai-nilai kebersamaan, semangat berbagi, dan gotong royong, terutama melalui kegiatan sedekah jalanan yang banyak dilakukan.
Selain itu, pasar takjil turut menggerakkan perekonomian lokal dan membuka peluang usaha bagi masyarakat kecil. Namun, fenomena ini juga pasti membawa tantangan, seperti potensi kemacetan, peningkatan sampah plastik, dan konsumsi berlebihan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk terus menjaga esensi positif dari tradisi ini, sekaligus mengelola dampak negatifnya melalui edukasi dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Dengan demikian, berburu takjil dapat terus menjadi bagian dari kekayaan budaya Ramadan yang tidak hanya menghidupkan semangat ibadah, tetapi juga memperkuat harmoni sosial dan kepedulian terhadap sesama.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)
