PIKIRAN RAKYAT – Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan kedudukan satuan siber di TNI. Ia menjelaskan bahwa satuan ini bukan matra seperti halnya angkatan laut, angkatan darat, maupun angkatan udara.
Hal ini dijelaskannya dalam rapat kerja di DPR RI. Saat itu. Anggota Komisi I DPR RI Syamsu Rizal menanyakan perkembangan matra siber kepada Menhan Sjafrie. “Sudah sampai di mana perencanaan angkatan matra keempat, Angkatan Siber?” kata Rizal meminta keterangan.
Karena bukan sebagai matra, Menhan Sjafrie pun menjelaskan satuan siber tak memiliki organisasi yang sekompleks ketiga matra tersebut. Namun, ditempatkan di antara jabatan Kepala staf dan Panglima di setiap matra. “Akan tetapi, di antara para kepala staf dan Panglima itu ada Satuan Siber,” ujarnya.
Tugas satuan ini serupa dengan Pusat Pertahanan Siber di Kementerian Pertahanan. Posisi stafnya diisi oleh tenaga profesional, bukan tentara aktif. Beberapa di antaranya ada yang berasal dari kalangan hacker atau peretas.
Menhan Sjafrie pun mengungkapkan bahwa satuan ini berfokus kepada teknologi dan sumber daya manusia yang tinggi. Karenanya, tak membutuhkan banyak orang. “Sebetulnya Satuan Siber itu yang dibutuhkan teknologi, bukan padat karya, bukan perlu orang yang banyak,” ujarnya.
Satuan Siber dibentuk pada tahun 2020. Saat itu, TNI di bawah kepemimpinan Panglima Jenderal Gatot Nurmantyo. Ia menyambut baik pembentukannya, karena perkembangan teknologi informasi bisa saja menjadi ancaman. “… sehingga hal ini (satuan siber) diharapkan mampu menjadi alternatif dalam memunculkan solusinya,” ujarnya.
Sementara itu, dilansir dari laman Sciencefocus, Amerika Serikat, Denmark, dan United Kingdom menjadi tiga negara dengan sistem cyber security terbaik di dunia Sedangkan posisi tiga terbawah diisi oleh China, Bangladesh, dan Iran.
Ancaman Siber dalam Dunia Global
Dalam kajian hubungan internasional, ancaman siber termasuk ke dalam ancaman nontradisional yang tak boleh dipandang remeh oleh negara mana pun.
“Ini masuknya ke ancaman nontradisional yang harus diperhatikan pemerintah. Negara-negara di dunia harus beradaptasi” ujar Ikang yang merupakan Sarjana Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan.
Ancaman nontradisional berbeda dengan ancaman tradisional yang menekankan kekuatan senjata. “Kalau dulu, negara takut dengan senjata negara lain. Sekarang ancamannya berbeda. Bukan lagi senjata. Bisa apa saja, bisa kerusakan lingkungan, budaya, kejahatan lintas batas, banyak jenisnya,” jelas Ikang.
Ikang lalu menjelaskan bahwa peristiwa Ransomware Wannacry yang terjadi tahun 2017 silam menjadi contoh berbahayanya kejahatan siber. Tak hanya bagi Indonesia, tetapi juga negara-negara lain. Ransomware Wannacry saat itu mengganggu pelayanan publik yang vital.
“Kalau dulu kan tahun 2017 ada Ransomware yang dampaknya berdampak ke dunia global. Sekarang Ransomware masih berkeliaran. Ini bisa juga termasuk kejahatan siber. Perlu ada cara pencegahannya khususnya oleh Menhan dan TNI. Perlu ada kerja sama antarnegara,” ujarnya.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News