Bisnis.com, JAKARTA – Kasus korupsi tata kelola minyak yan diduga merugikan negara hingga Rp285 triliun di PN Tipikor telah digelar.
Adapun sidang perdana kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023 dimulai pada Kamis (9/10/2025). Muncul empat tersangka dalam kasus ini, lengkap dengan borgol masing-masing di tangan.
Berikut fakta persidangan kasus mega korupsi tata Kelola minyak:
1. Empat Didakwa
Sebanyak empat orang yang didakwa. Sebelum sidang dimulai, majelis hakim mulanya menanyakan terkait dengan identitas keempatnya. Satu per satu keempat tersangka itu menjawab pertanyaan pendahuluan dari hakim.
Keempat orang tersebut adalah Riva Siahaan (RS) selaku eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku eks Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Maya Kusmaya (MK) selaku eks Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, dan Edward Corne (EC) selaku eks VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.
2. Dugaan Penyimpangan
Keempat terdakwa ini diduga melakukan penyimpangan mulai dari hulu sampai hilir. Penyimpangan itu terdiri atas kegiatan ekspor minyak mentah, impor minyak mentah, impor BBM, pengapalan minyak mentah/BBM, sewa terminal BBM.
Tak hanya itu, perbuatan lainnya seperti pemberian kompensasi BBM dan penjualan solar subsidi di bawah harga bottom price turut dilakukan oleh para terdakwa.
“Oleh karena perbuatan terdakwa dan tersangka tersebut telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp285.185.919.576.620 [Rp285,18 triliun],” ujar Kepala Kejari Jakarta Pusat Safrianto Zuriat Putra.
Adapun, pasal yang disangkakan terhadap Riva Cs yakni Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
3. Menguntungkan Korporasi Tertentu
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkap dalam perkara korupsi dugaan tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023 telah menguntungkan sejumlah pihak korporasi.
Jaksa menjelaskan setidaknya ada dua perusahaan luar dan 13 perusahaan lokal yang telah diuntungkan dalam dua kategori. Pertama, dalam impor produk kilang atau BBM.
Ada dua perusahaan luar yang diuntungkan yaitu BP Singapore Pte. Ltd dalam pengadaan Ron 90 pada 2023 sebesar US$3,6 juta. Selanjutnya, BP Singapore juga diuntungkan dalam pengadaan BBM dengan Ron 92 sebesar US$745.493.
Kemudian, perusahaan Singapura lainnya yakni Sinochem International Oil Pte. Ltd dalam pengadaan BBM Ron 90 pada 2023 sebesar US$ 1,39 juta.
Kategori selanjutnya terkait dengan keuntungan dalam penjualan non-subsidi. Mereka yakni PT Berau Coal; PT Adaro Indonesia; PT Merah Putih Petroleum; PT Buma; PT Pama Persada Nusantara; PT Ganda Alam Makmur; dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
Selanjutnya, PT Aneka Tambang Tbk.; PT Maritim Barito Perkasa; PT Vale Indonesia Tbk; PT Nusa Halmahera Minerals; PT Indo Tambangraya Megah; PT Purinusa Eka Persada. Total keuntungan yang diperoleh belasan korporasi ini mencapai Rp2,5 triliun.
“[Keuntungan] dengan jumlah keseluruhan Rp2,54 triliun,” tutur jaksa.
Adapun, total baru ada empat tersangka yang telah didakwa dalam perkara ini. Mereka yakni Eks Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan dan Maya Kusmaya (MK) selaku eks Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga.
Selanjutnya, Edward Corne (EC) selaku eks VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga dan Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku eks Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
Mereka telah didakwa merugikan keuangan negara Rp285,18 triliun dengan rincian kerugian dalam pengadaan impor produk kilang/ BBM US$5,7 juta; dalam penjualan solar non subsidi selama periode tahun 2021-2023 yaitu sebesar Rp2,5 triliun.
Dua kerugian itu masuk dalam total kerugian keuangan sebesar US$2,7 miliar dan Rp25,4 triliun. Sementara itu, kerugian perekonomian negara dalam perkara ini mencapai Rp171,9 triliun.
Selain itu, jaksa penuntut umum juga turut memasukkan kerugian negara yang diperoleh dari perhitungan keuntungan ilegal dari selisih antara harga perolehan impor BBM yang melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM dari pembelian yang bersumber di dalam negeri sebesar US$2,6 miliar.
