Bisnis.com, NUSA DUA, BALI — Penundaan implementasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) hingga Desember 2026 dinilai menguntungkan perusahaan besar di Eropa yang telah siap memenuhi regulasi, namun menambah tekanan bagi petani kecil di Indonesia.
Duta Besar RI untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa, Andri Hadi, menuturkan Indonesia sejak awal mengambil pendekatan proaktif dan konstruktif dalam menanggapi EUDR.
Dia menyampaikan, Indonesia bersama negara lain berkali-kali menyoroti kekhawatiran perihal waktu persiapan yang singkat, sistem benchmarking, dan risiko bagi petani kecil sejak 2022 silam.
Adapun, penundaan yang diusulkan Komisi Eropa muncul lantaran sistem teknologi informasi (TI) EUDR belum siap sepenuhnya.
“Proposal tersebut menetapkan jadwal yang direvisi, yakni penundaan kewajiban bagi usaha mikro dan kecil hingga 30 Desember 2026. Jadi penundaan ini hanya berlaku untuk usaha mikro dan kecil,” kata Andri dalam acara 21st Indonesian Palm Oil Conference and 2026 Price Outlook (IPOC) di BICC, The Westin Resort Nusa Dua, Bali, Kamis (13/11/2025).
Namun, usulan penundaan hanya berlaku untuk importir usaha mikro dan kecil di UE, sedangkan usaha menengah dan besar tetap harus mematuhi ketentuan mulai Desember 2025. Ini artinya, perusahaan besar di UE berpotensi diuntungkan karena sudah memiliki sistem ketertelusuran yang mapan.
“Secara lebih luas, proposal ini dianggap menguntungkan perusahaan besar yang sudah memiliki sistem keterlacakan penuh, serta produsen UE berbasis kecil, sementara memberikan bantuan terbatas untuk operator menengah yang menghadapi risiko beragam,” tuturnya.
Andri menilai perbedaan kesiapan otoritas antarnegara UE dapat menimbulkan risiko “forum shopping”, di mana importir memilih pelabuhan masuk dengan regulasi yang lebih longgar.
Kendati demikian, menurutnya, penundaan ini juga memberi waktu bagi Indonesia untuk memperkuat sistem nasional, termasuk sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), akurasi data geolokasi, serta kapasitas petani kecil.
Selain itu, Andri juga menyoroti pentingnya memanfaatkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Uni Eropa (IEU—CEPA) sebagai platform kerja sama untuk mendorong perdagangan berkelanjutan berbasis dialog.
Meski begitu, dia menekankan IEU—CEPA tidak dirancang untuk menggantikan EUDR, melainkan menyediakan platform kerja sama untuk memajukan keberlanjutan, perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi secara bersamaan.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menyebut EUDR yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan internasional, membebani petani kecil, menciptakan diskriminasi terhadap negara berkembang, dan berpotensi melanggar keadilan sosial dalam rantai pasok.
“Prinsip universal menjadi hukum internasional. Maka standarnya pun harus berlaku secara universal. Bukan berarti standar pengelolaan sawit negara barat (Eropa) lebih baik, dan ASEAN tidak. Sebab seharusnya European Union Deforestation Regulation [EUDR] memiliki standar yang sama,” ujar Arif.
Dia mengusulkan mekanisme komunikasi yang telah terbukti melalui pengalaman Indonesia–Uni Eropa dalam perjanjian FLEGT-VPA di sektor kehutanan.
Lebih lanjut, dia juga merekomendasikan pembentukan Licensing Information Unit di Indonesia sebagai pintu komunikasi resmi bagi otoritas Eropa untuk memverifikasi asal-usul dan status keberlanjutan produk, dengan data tetap disimpan di Indonesia.
Menurutnya, mekanisme serupa dapat direplikasi untuk EUDR melalui integrasi antara dashboard nasional Indonesia dan sistem EUDR, sehingga verifikasi dapat berjalan tanpa membebani petani kecil dan tanpa melanggar kedaulatan data.
Dengan pendekatan ini, kata dia, implementasi EUDR dapat menjadi lebih adil, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keberlanjutan internasional.
Di sisi lain, Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat industri sawit nasional kini mencakup 16,38 juta hektare, dengan 42% dikelola oleh pekebun rakyat. Industri ini menyerap 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.
Plt Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Abdul Roni Angkat menyampaikan dalam upaya meningkatkan produktivitas, pemerintah mempercepat Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan reformasi regulasi besar-besaran seperti penyederhanaan persyaratan dari 14 syarat menjadi 2 syarat, yakni verifikasi dipangkas dari tiga tahap menjadi satu tahap, integrasi proses melalui sistem digital nasional.
“Penyederhanaan PSR merupakan langkah nyata memudahkan pekebun dan mempercepat peremajaan,” terang Abdul.
Dia menambahkan, seiring meningkatnya kebutuhan domestik untuk minyak goreng dan biodiesel, pemerintah mendorong hilirisasi sawit melalui pembangunan fasilitas biodiesel, DMO minyak goreng, margarin, bio propylene glycol, hingga unit pengolahan inti di berbagai provinsi seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan.
