Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Esensi Kondangan Malem 10 Akhir Ramadan di Pantura Jawa Tengah

Esensi Kondangan Malem 10 Akhir Ramadan di Pantura Jawa Tengah

Tulisan ini mengangkat fenomena sosial keagamaan tradisi kondangan maleman yang dilakukan pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan di kawasan Pantura Jawa Tengah, dan menganalisisnya menggunakan pendekatan fenomenologi agama dari Mircea Eliade (1907-1986). 

Tradisi ini menjadi contoh bagaimana agama tidak hanya berfungsi sebagai fenomena sosial, tetapi juga mencakup aspek yang lebih dalam, yaitu penghayatan terhadap yang sakral. Eliade, sebagai sarjana yang mengkritik pandangan reduksionis terhadap agama, memberikan pendekatan yang lebih holistik dalam melihat fenomena keagamaan, yang tidak hanya mengandalkan analisis sosial, ekonomi, atau psikologis, tetapi juga memperhatikan esensi agama itu sendiri.

Pandangan Reduksionis terhadap Agama

Sejumlah sarjana klasik, seperti Karl Marx (1883), Émile Durkheim (1917), dan Sigmund Freud (1939), memiliki pendekatan reduksionis terhadap agama. Marx melihat agama sebagai akibat dari ketidakadilan ekonomi-politik, sedangkan Durkheim dan Freud melihat agama sebagai hasil dari kebutuhan sosial dan psikologis manusia. 

Meskipun pandangan ini memberikan kontribusi dalam memahami fungsi agama, mereka memandang agama hanya sebagai fenomena sosial yang dapat dijelaskan melalui struktur dan dinamika sosial tertentu. Eliade mengkritik pandangan ini dan menawarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang agama, yakni sebagai sesuatu yang sui generis (unik) dan memiliki aspek sakral yang tidak dapat direduksi.

Eliade dan Pendekatan Fenomenologi Agama

Menurut Mircea Eliade, agama bukanlah sekadar akibat dari struktur sosial atau faktor psikologis, melainkan fenomena yang berdiri sendiri dan memiliki dimensi sakral yang khas. Eliade berpendapat bahwa untuk memahami agama, kita harus melihatnya dari perspektif yang lebih ranscende dan fenomenologis. 

Agama tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial, tetapi juga berhubungan dengan pengalaman spiritual yang lebih tinggi, yakni pengalaman tentang yang sakral. Eliade memandang bahwa dalam agama terdapat dua dimensi utama: yang sakral dan yang profan. Yang sakral adalah segala sesuatu yang dianggap memiliki makna lebih tinggi dan ranscendental, sedangkan yang profan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang biasa-biasa saja.

Eliade juga menekankan pentingnya pendekatan fenomenologi dalam studi agama, yaitu pendekatan yang berfokus pada pengalaman keagamaan itu sendiri. Pendekatan ini tidak hanya mencoba menjelaskan agama dari perspektif luar, seperti sosiologi atau psikologi, tetapi berusaha memahami esensi agama berdasarkan pengalaman subjektif mereka yang menjalankan agama tersebut. Dalam hal ini, Eliade menolak reduksionisme yang cenderung melihat agama hanya sebagai hasil dari faktor sosial atau psikologis.

Konsep Hierophany dan Transformasi yang Sakral

Salah satu konsep penting yang diajukan oleh Eliade adalah hierophany, yaitu manifestasi dari yang sakral dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pandangannya, segala sesuatu yang tampak profan atau biasa dalam kehidupan manusia bisa menjadi manifestasi dari yang sakral jika diberi makna yang lebih tinggi, terutama dalam konteks ritual keagamaan. 

Hierophany ini dapat ditemukan dalam berbagai objek atau peristiwa, seperti batu, pohon, atau bahkan makanan. Bagi masyarakat tradisional, dunia ini selalu terbuka untuk pengalaman yang sakral, di mana setiap objek bisa menjadi tempat berdiamnya kekuatan ilahi atau roh leluhur.

Namun, masyarakat modern seringkali melakukan desakralisasi, di mana mereka memisahkan yang sakral dari yang profan. Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat tradisional yang melihat bahwa kehidupan mereka selalu terhubung dengan dimensi yang lebih tinggi dan sakral. 

Dalam masyarakat modern, ada kecenderungan untuk melihat hal-hal sakral sebagai tak relevan atau bahkan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, Eliade berpendapat bahwa untuk memahami agama dengan lebih baik, kita harus masuk ke dalam perspektif orang yang menjalani agama tersebut dan melihat dunia dengan mata mereka.

Tradisi Kondangan Maleman dan Fenomenologi Agama Eliade

Tradisi kondangan maleman yang dilakukan pada sepuluh malam terakhir Ramadan di kawasan Pantura Jawa Tengah memberikan gambaran yang jelas mengenai pemahaman Eliade tentang transformasi yang sakral. Tradisi ini melibatkan prosesi doa bersama yang dihadiri oleh tetangga terdekat, di mana makanan berupa berkat dibagikan sebagai simbol berkah dan doa kepada arwah leluhur. Dalam hal ini, makanan dan objek sehari-hari, seperti tumpeng, ayam ingkung, dan jajanan pasar, memiliki makna sakral yang lebih dalam.

Eliade menekankan bahwa objek-objek ini tidak hanya sekadar benda biasa. Tumpeng, misalnya, melambangkan harapan agar doa terkabul, sementara ingkung (ayam utuh) melambangkan kesucian dan ketulusan, serundeng sebagai perantara doa, dan jajanan pasar melambangkan berkat yang diberikan oleh Tuhan. 

Dalam konteks ini, makanan yang tadinya bersifat profan bisa diubah menjadi sesuatu yang sakral berkat pemberian makna dan konteks dalam prosesi ritual. Dengan kata lain, objek-objek profan ini mengalami transfigurasi menjadi yang sakral melalui upacara dan doa-doa yang dipanjatkan dalam tradisi kondangan maleman.

Menurut Eliade, dialektika antara yang sakral dan yang profan adalah inti dari pengalaman keagamaan. Dalam tradisi kondangan maleman, hal-hal yang tampak sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti makanan dan doa, dapat menjadi sarana untuk menghubungkan dunia profan dengan yang sakral. 

Makanan yang dibagikan dalam tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai konsumsi fisik, tetapi juga sebagai simbol doa dan harapan agar diberikan keselamatan dunia dan akhirat. Proses ini menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional memahami bahwa yang sakral dapat hadir dalam dunia yang profan melalui ritual dan simbolisme yang dihidupkan dalam prosesi keagamaan.

Kesimpulan

Pendekatan fenomenologi agama Mircea Eliade memberikan wawasan yang mendalam dalam memahami tradisi kondangan maleman di Pantura Jawa Tengah. Melalui konsep-konsep seperti hierophany, dialektika sakral-profan, dan pengalaman keagamaan yang tidak dapat direduksi, Eliade menawarkan perspektif yang lebih luas untuk memahami fenomena keagamaan.

Tradisi ini menunjukkan bagaimana objek-objek yang tampaknya biasa dan profan dapat menjadi sarana untuk mengalami yang sakral, serta bagaimana ritual dan simbolisme dalam agama menjadi jembatan untuk menghubungkan dunia manusia dengan yang transendental. Dalam hal ini, fenomenologi agama Eliade memberikan landasan yang kuat untuk memahami esensi agama dalam konteks budaya dan pengalaman umat beragama.

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).
 

Merangkum Semua Peristiwa