Bisnis.com, JAKARTA- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal membatasi produksi produk nikel demi menjaga harga tetap tinggi di pasaran global.
Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, pembatasan produk nikel kian relevan di tengah tingginya konflik geopolitik saat ini.
“Nikel kita mulai atur produk apa di pasar jangan sampai over, jadi optimal saja. Nanti kita batasi produk nikel yang jenuh di pasar supaya harga naik,” kata Tri dalam acara Bisnis Indonesia Economic Outlook di Jakarta, Selasa (10/12/2024).
Namun, dia tak memerinci kapan pembatasan produk nikel itu bakal berlaku. Tri hanya mengatakan bahwa di tengah konflik global, Indonesia harus memiliki daya tahan.
“Saya sepakat tidak baik-baik saja [kondisi dunia], ini challenge bagi kita terutama Indonesia dengan komoditas yang ada bisa berperan lebih,” ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia disebut telah membatasi pasokan bijih nikel untuk melindungi penambang lokal dari penurunan harga nikel global.
Eramet SA, perusahaan tambang asal Prancis yang mengoperasikan salah satu tambang nikel terbesar dunia di Maluku Utara, tahun ini diberi kuota penjualan nikel 29% lebih rendah dari yang diharapkan.
Chief Executive Officer Eramet Indonesia Jerome Baudelet menuturkan, karena pembatasan yang dilakukan pemerintah, para penambang memilih memprioritaskan penjualan bijih nikel berkadar tinggi yang biasanya digunakan dalam produksi baja nirkarat.
Akibatnya, pasokan bijih nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik berkurang sehingga memaksa pabrik peleburan atau smelter dalam negeri untuk mengimpor bijih nikel yang lebih mahal.
“Mereka ingin mempertahankan harga yang baik untuk bijih nikel di pasar,” kata Jerome dalam sebuah wawancara, dikutip dari Bloomberg, Sabtu (23/11/2024). “Mereka ingin melindungi para penambang kecil lokal,” imbuhnya.
Pembatasan smelter nikel
Membanjirnya pembangunan smelter nikel di dalam negeri membuat harga jual produk turunan nikel di pasar global jatuh. Pengusaha pun mendorong pemerintah agar segera melakukan kebijakan rasionalisasi atau pembatasan jumlah smelter melalui moratorium perizinan.
Wacana penangguhan atau moratorium izin proyek baru smelter nikel berteknologi pirometalurgi rotary klin-electric furnace (RKEF) sejatinya telah digulirkan beberapa tahun terakhir. Namun, hingga saat ini tak kunjung terealisasi. Akibatnya, pasokan produk olahan nikel kelas dua seperti feronikel (FeNi), bahan baku baja tahan karat atau stainless steel, menjadi berlebih.
Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso mengatakan, kondisi kelebihan pasok atau oversupply produk nikel saat ini telah memicu jatuhnya harga komoditas tersebut di pasar global. Alhasil, harga jual feronikel saat ini tidak ekonomis.
“Kalau oversupply seperti yang terjadi di feronikel, harganya jatuh. Sekarang harga feronikel itu hampir tidak bisa menutup biaya produksi,” kata Hendi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (4/12/2024).
Untuk itu, dia pun meminta dukungan kepada parlemen untuk mendorong regulasi yang mengatur tata kelola pembangunan smelter di dalam negeri.
“Kami berharap agar ada dukungan dari sisi tata kelola. Mohon adanya pembatasan jumlah smelter yang dilakukan karena banyaknya jumlah smelter ini kami khawatirkan akan membuat oversupply dari sisi pasar dunia,” ujar Hendi.