Jakarta, CNBC Indonesia – Kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% bagi barang mewah yang akan dikenakan mulai tahun depan bukan solusi tepat untuk menaikkan rasio pajak Indonesia.
Mantan Dirjen Pajak di era Presiden Megawati hingga Presiden SBY, Hadi Poernomo mengungkapkan kebijakan menaikkan tarif PPN ini sebenarnya adalah jalan terakhir untuk mendongkrak penerimaan. Alih-alih menaikkan, dia menilai tarif PPN seharusnya tetap sebesar 10%. Idealnya, rasio pajak seharusnya meningkat dibarengi dengan penurunan tarif pajak. Bukan sebaliknya.
Hal ini, kata Hadi, bisa dicapai dengan meningkatkan kepatuhan pajak melalui pengawasan atau monitoring pembayaran pajak secara mandiri atau monitoring self-assessment.
Dengan sistem ini, seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan wajib pajak (WP) wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan. Alhasil, kebocoran pajak dan korupsi bisa diatasi. Lalu, petugas pajak tidak akan semena-mena kepada WP.
“Kalau sudah transparansi, orang pajak tidak mungkin bertindak semena-mena,” tegas Hadi dalam Podcast Cuap-Cuap Cuan, CNBC Indonesia, dikutip Jumat (13/12/2024).
“Jadi manfaat transparansi itu adalah satu, orang pajak tidak mungkin berbuat semena-mena. Tidak mungkin berburu di kebun binatang. Dan juga manfaatnya lain, tax ratio naik, tax rate turun,” tambahnya.
Indonesia saat ini menerapkan sistem self-assessment yang mengandalkan kejujuran WP. Sistem ini berpotensi menimbulkan pelaporan pajak dengan tidak benar dan jelas karena WP diberikan hak untuk menghitung sendiri pajaknya, membayar pajak yang terutang, dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) kepada otoritas pajak.
Monitoring self-assessment, menurut Hadi, bisa dikatakan sebagai CCTV penerimaan negara. Untuk menjalankan ini, pemerintah sebenarnya memiliki dasar hukumnya, yaitu Undang-Undang (UU) No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan.
Dengan ‘CCTV penerimaan negara’ ini, semua WP di Indonesia wajib membuka dan menyambung sistemnya ke pajak.
Jadi sistem penerimaan negara berbasis link and match yang mewajibkan semua kementerian, lembaga, badan, Pemda, asosiasi, dan pihak-pihak lain yang terkait untuk membuka dan menyambung elektronik sistemnya ke pajak. Bahkan, data perbankan pun bisa terhubung ke pajak. Khusus perbankan, sudah ditambahkan ke dalam UU No.9 Tahun 2017.
UU ini menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2017 menjadi undang-undang. Perpu Nomor 1 Tahun 2017 mengatur tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
“Semua rahasia yang ada di bank umum, bank syariah, pasar modal, kustodian, tidak berlaku bagi pajak. Jadi semua bisa terhubung ke pajak,” kata Hadi.
Tidak hanya WP di dalam negeri, semua orang Indonesia yang bertransaksi di luar negeri, wajib semuanya datanya dikirim ke pajak.
“Tambah lagi, saldo rekening akhir tahun yang ada di lembaga jasa keuangan (LJK), dan lembaga jasa keuangan lainnya wajib diserahkan ke pajak. Bukan dapat, wajib,” tegasnya.
“Mereka harus menyetor data itu. Wajib. By automatically, Namanya digitalisasi,” katanya.
Dengan sistem ini, Hadi yakin kepatuhan pajak meningkat sehingga rasio pajak bisa naik. Bukan tidak mungkin, uang hasil korupsi dan perputaran uang underground economy bisa dilacak.
“Ini nanti akan keluar. Itu yang namanya kartu kreditnya mungkin. Jelas semuanya,” tegasnya.
Transparansi ini, kata Hadi, dapat mendongkrak penerimaan pajak. Bukan tidak mungkin rasio pajak 16% yang ditargetkan Presiden Prabowo bisa tercapai. Dia menghitung, monitoring self-assessment bisa meningkatkan rasio pajak 1-2%. Ini nilainya setara dengan Rp 250 triliun hingga Rp 500 triliun.
(haa/haa)