Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai rencana Indonesia mengimpor minyak mentah dan LPG dari Amerika Serikat (AS) membawa konsekuensi ekonomi yang tidak sederhana. Rencana itu berpotensi menguntungkan dan juga bisa merugikan.
Adapun, wacana impor migas yang bakal dilakukan melalui PT Pertamina (Persero) itu merupakan bagian dari negosiasi penurunan tarif resiprokal yang dikenakan AS terhadap produk Indonesia.
Pemerintah juga tengah menyiapkan peraturan presiden baru yang memperbolehkan Pertamina mengimpor energi langsung dari perusahaan-perusahaan asal AS tanpa proses lelang atau bidding.
Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Ishak Razak berpendapat rencana impor migas berada dalam posisi dilematis. Sebab, kebijakan tersebut memunculkan potensi distorsi pasar. Namun, sekaligus membuka peluang keuntungan strategis bagi Indonesia.
Ishak menjelaskan, peningkatan pembelian energi dari AS berpotensi mengurangi kompetisi yang adil di antara para pemasok global, terutama dari kawasan Timur Tengah. Dia juga mengingatkan adanya risiko markup harga yang bisa membuat ongkos impor menjadi lebih tinggi dari harga pasar.
“Ini memang dilematis sebab akan mengurangi fair competition dari pemasok non-AS, selain itu juga ada potensi markup harga,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (19/11/2025).
Kendati demikian, di balik potensi kerugian tersebut, Ishak menyebut, langkah itu sebenarnya merupakan bagian dari strategi negosiasi dagang yang lebih luas.
Menurutnya, pembelian energi dari Negeri Paman Sam diperkirakan menjadi ‘biaya diplomatik’ yang perlu dibayar Indonesia untuk mendapatkan penurunan tarif impor AS. Ini khususnya penurunan tarif terhadap sejumlah komoditas ekspor unggulan RI, seperti tekstil, alas kaki, hingga elektronik.
“Tarif impor rendah pada produk-produk tersebut memberi dampak ekonomi yang jauh lebih besar bagi Indonesia,” tuturnya.
Impor LPG Lebih Menguntungkan daripada Minyak
Dari sisi bisnis, Ishak menekankan bahwa Indonesia masih memiliki ruang untuk meminimalkan potensi kerugian. Ruang itu salah satunya dengan memprioritaskan impor LPG dibandingkan minyak mentah.
Menurutnya, harga LPG asal AS relatif lebih kompetitif dibandingkan LPG dari Timur Tengah, meskipun biaya pengiriman dari Timur Tengah lebih murah. Kombinasi harga komoditas dan efisiensi rantai pasok membuat harga akhir LPG dari AS tetap bersaing.
“Ini berbeda dengan minyak mentah yang akan cenderung lebih mahal. Dengan memprioritaskan LPG, harga pokok pengadaan [HPP] BBM bisa tetap stabil sehingga tidak mengganggu harga BBM dalam negeri maupun skema subsidi,” jelasnya.
Selain strategi pemilihan komoditas, Ishak menyarankan agar Pertamina mencantumkan formula penetapan harga berbasis indeks global, seperti Platts WTI, dalam kontrak pembelian.
Dia menilai, langkah ini krusial untuk menjaga transparansi dan mencegah terjadinya markup harga oleh pemasok.
“Apalagi mekanisme jual belinya nanti dilakukan B2B [business to business]. Klausul formula harga berbasis benchmark membuat kontrak lebih adil dan sulit di-mark-up,” ujarnya.
