Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Ekonom Ramal Utang Luar Negeri dan Cadev Akhir Tahun Terkerek Prefunding APBN 2025

Ekonom Ramal Utang Luar Negeri dan Cadev Akhir Tahun Terkerek Prefunding APBN 2025

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memandang keputusan pemerintah melakukan pembiayaan lebih awal atau prefunding untuk APBN 2025 akan otomatis berdampak pada bertambahnya cadangan devisa maupun utang luar negeri/ULN Indonesia.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai dengan adanya dana masuk yang diterima pemerintah melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), terutama pada Desember, memberikan potensi peningkatan statistik ULN dan cadangan devisa (cadev).  

“Posisi ULN di akhir tahun kami perkirakan akan berada di kisaran US$425 miliar hingga US$430 miliar,” ujarnya, dikutip pada Minggu (29/12/2024).  

Melihat posisi terakhir ULN Indonesia per Oktober 2024 senilai US$423,4 miliar atau turun dari posisi bulan sebelumnya yang senilai US$428,5 miliar.  

Sementara untuk cadangan devisa, Yusuf perkirakan posisinya akan berada di kisaran US$151 miliar pada akhir tahun ini.  

Sebelumnya, cadangan devisa Indonesia telah mencatatkan level tertingginya pada akhir Oktober 2024 senilai US$151,2 miliar. Namun pada akhir November lalu, cadangan devisa turun US$1 miliar menjadi US$150,2 miliar.  

Bank Indonesia menyebutkan bahwa penurunan tersebut sejalan pembayaran utang luar negeri pemerintah. 

Dengan kata lain, ULN yang terpantau telah mengalami penurunan meski cadangan devisa ikut turun berpotensi akan naik dengan prefunding APBN 2025.  

Adapun cadangan devisa perlu pemerintah jaga tetap tinggi demi memperkuat nilai tukar rupiah.   

Per 24 Desember 2024, pemerintah telah melakukan prefunding senilai Rp85,7 triliun. Pasokan dana untuk menjalani Program Presiden Prabowo Subianto pada awal tahun depan tersebut berasal dari penerbitan Sukuk Global pada November 2024 senilai US$2,75 miliar atau setara atau setara Rp43,56 triliun (asumsi kurs Rp15.842 per dolar AS saat itu). 

Sementara pada Desember, pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) Rp22 triliun, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp15,1 triliun, dan SUN dengan private placement Rp5 triliun.  

Waswas Tambah Beban Belanja 

Di sisi lain, Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro menilai memang prefunding tersebut akan menambah cadangan devisa dan memperkuat rupiah. Namun sayangnya, cadangan devisa tersebut juga akan terkuras untuk membayar ULN yang semakin bengkak.  

Utamanya, apabila pemerintah terlalu sering menerbitkan utang melalui Sukuk Global atau Global Bonds.  

“Memang dapat cadangan devisa dari prefunding misal US$3 miliar. Tapi setiap 6 bulan sekali itu pemerintah bayar kupon yang investornya global bond kebanyakan investor asing. Itu dicatat di current account deficit, di primary income, dan juga mengurangi cadangan devisa kita,” jelasnya. 

Terlebih apabila pemerintah menerbitkan Sukuk Global, utamanya dalam dolar, pembayaran utang jatuh tempo maupun bunga utang akan membebani belanja negara. Pasalnya, nilai saat ini akan berbeda ketika utang tersebut jatuh tempo alias US$100 juta dolar saat ini akan berbeda dengan US$100 juta dolar dalam 10 tahun mendatang.  

Belum lagi, pemerintah perlu membayar imbal hasil yang juga akan lebih tinggi dengan mengasumsikan tren pelemahan rupiah.  

Mengambil contoh dalam penerbitan Sukuk Global tenor 10 tahun pada November lalu dengan yield 5,25%, pemerintah perlu memperhitungkan pelemahan rupiah. Misalnya dalam 10 tahun terakhir, rupiah terdepresiasi 6%—7%.  

Artinya, imbal hasil yang pemerintah bayarkan bukan sesuai yield awal, melainkan ditambah dengan depresiasi rupiah karena diterbitkan dalam bentuk dolar AS, misalnya.  

“Berarti ya efektif borrowing cost-nya bagi pemerintah itu bisa di atas 10%-11% jika memperhitungkan depresiasi dari nilai tukar,” lanjutnya.  

Adapun, pemerintah akan terus menarik utang baru pada 2025 untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang mencapai Rp3.621,3 triliun.  

Melihat baru terkumpul Rp85,7 triliun dari rencana Rp775,9 triliun, artinya pemerintah masih akan menarik utang dari penerbitan instrumen maupun pinjaman senilai Rp690,2 triliun.