Bisnis.com, JAKARTA — Penunjukkan BUMN PT Agrinas Pangan Nusantara oleh pemerintah untuk melaksanakan pembangunan fisik Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih menuai kritik lantaran tidak sesuai dengan lini bisnis yang dijalankan.
Untuk diketahui, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.17/2025 yang salah satunya memuat instruksi kepada Agrinas untuk membangun gudang hingga gerai Kopdes. Pembiayaannya berasal dari pemerintah yang disalurkan melalui kredit himbara dengan plafon Rp3 miliar setiap kopdes.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti mengaku heran dengan penunjukan itu karena Agrinas mendapatkan penugasan yang tidak sesuai dengan tupoksi dan core business perseroan.
“Ngeri ya. Jadi saya bilang ngeri karena pertama gini, kalau dia bukan BUMN karya, berarti kan di situ ada margin karena dia akan minta pihak ketiga untuk membangun itu, gitu kan,” terangnya kepada Bisnis, Rabu (29/10/2025).
Apabila memang Agrinas ingin diberikan penugasan, terang Esther, harusnya Agrinas ditugaskan untuk hal yang lebih berhubungan dengan lini bisnis perseroan. Dia mencontohkan BUMN baru itu bisa masuk sebagai penjamin kredit pembiayaan kopdes.
Di sisi lain, Esther menyebut harusnya pemerintah tidak perlu lagi membangun gudang-gudang baru. Lebih jauh, dia mempertanyakan motivasi pemerintah membangun koperasi-koperasi baru. Apabila koperasi desa/kelurahan yang sudah ada kurang maksimal, maka bisa direvitalisasi.
“Jadi kan bukan dari nol, kecuali memang di daerah itu enggak ada koperasi gitu loh, baru boleh lah gitu kan. Nah, biar anggarannya itu enggak sia-sia, kalau kayak gini kan anggaran maksimal Rp miliar [setiap kopdes] itu kan jadi kayak, apa ya? Bahasa Jawa-nya itu kayak bancakan gitu,” terang doktor dari Maastricht University itu.
Esther menceritakan pernah melakukan kajian atas resi gudang di Indonesia yang mati. Hal itu sebab petani yang enggan membayar tenaga kerja pergudangan, ditambah beban logistik yang tinggi. Alhasil, petani disebut memilih jalan pintas untuk menjual hasil pertanian dan perkebunannya langsung ke pedagang tengkulak.
Adapun pemerintah mengeklaim tujuan Kopdes Merah Putih salah satunya untuk menyerap produk hasil pertanian agar tidak lagi diserap oleh pedagang-pedagang tengkulak dimaksud.
Namun demikian, Esther tetap mempertanyakan tata kelola kopdes salah satunya mengenai penunjukkan Agrinas. Kopdes yang awalnya bertujuan untuk menciptakan perekonomian di desa lebih efisien, justru bisa berbalik arah dengan penugasan yang dinilai tidak sesuai kapasitasnya.
“Kalau dia [Agrinas] membangun fisiknya, padahal dia bukan BUMN karya, dia pasti akan meluncur ke pihak ketiga. Yang which is itu harganya pasti lebih mahal, kan. Berarti kalau harga lebih mahal, kan takutnya nanti kerugian negara, kan. Harusnya bisa lebih hemat, kan,” terang periset ekonomi bidang pangan dan pertanian selama 16 tahun itu.
Adapun ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet memandang bahwa penugasan pembangunan fisik kopdes kepada Agrinas bisa dibenarkan secara teori. Dia menilai pembangunan seragam untuk ribuan gudang akan menekan biaya per unit melalui pembelian massal dan standarisasi desain.
Selain itu, pengawasan terpusat diperkirakan bisa mengurangi risiko moral hazard di level lokal, mengingat kapasitas manajerial banyak koperasi masih terbatas. Pemerintah pun dinilai bakal lebih mudah menjaga timeline dan kualitas infrastruktur.
Akan tetapi, timpal Yusuf, pendekatan sentralisasi mempunyai kelemahan. Beberapa di antaranya adalah potensi inefisiensi birokrasi dan asymmetric information.
“PT Agrinas mungkin tidak memahami kondisi lokal—misalnya soal kontur tanah, banjir, atau komoditas unggulan—sehingga desain bisa kurang tepat. Selain itu, monopoli pelaksana membuat biaya bisa justru naik bila tak diawasi ketat,” jelasnya kepada Bisnis.
Sementara itu, pembangunan fisik yang diserahkan kepada setiap kopdes dinilai bisa lebih fleksibel karena setiap unit koperasi lebih mengetahui kebutuhan anggotanya. Kontraktor lokal pun dinilai bisa ikut disejahterakan dan menumbuhkan efek pengganda ekonomi desa.
“Namun risikonya besar: disparitas antarwilayah, keterbatasan teknis, dan potensi penyalahgunaan dana jika pengawasan lemah—pelajaran yang sudah terlihat dalam program dana desa,” terangnya.
Oleh sebab itu, Yusuf menyarankan model hybrid lebih rasional. Pembangunan fisik kopdes di tahap awal bisa dilakukan terpusat untuk efisiensi dan percepatan. Setelah kapasitas koperasi terbentuk, pembangunan bisa dialihkan secara bertahap ke skema desentralisasi dengan audit independen.
“Dengan begitu, program Kopdes tetap efisien secara makro, tanpa kehilangan fleksibilitas mikro yang dibutuhkan di tingkat desa,” pungkasnya.
