DPR Desak Pemerintah Kaji Ulang Izin Tambang Nikel di Raja Ampat

DPR Desak Pemerintah Kaji Ulang Izin Tambang Nikel di Raja Ampat

Jakarta, Beritasatu.com – Komisi VII DPR mendesak pemerintah mengkaji ulang izin dan aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papu Barat Daya. Pasalnya, Raja Ampat sebagai destinasi superprioritas lingkungannya terancam hancur dengan aktivitas tambang.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Chusnunia Chalim mengungkapkan ada kekayaan terumbu karang dan keindahan alam bawah laut di sekitar pertambangan tersebut yang harus menjadi perhatian pemerintah.

“Mengenai izin pertambangan nikel di sekitar wilayah destinasi superprioritas, di mana destinasinya mengangkat keindahan alam dan khususnya terumbu karang, ini hal yang harus dikaji kembali,” kata Chusnunia, Sabtu (7/6/2025).

Selain izin pertambangan, Chusnunia juga meminta pemerintah mengkaji ulang jalur perlintasan ke area smelter. Alasannya, jalur tersebut juga menyimpan kekayaan terumbu karang di kawasan Raja Ampat.

Chusnunia khawatir apabila tak ada kajian ulang, maka bakal ada ancaman ekologis yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan nikel tersebut.

“Tambang nikel, khususnya perlintasan jalur dari lokasi tambang ke smelter, menjadi hal yang harus dikaji ulang mengingat hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi terumbu karang,” katanya.

Politisi PKB itu menekankan pentingnya keseimbangan antara pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan kawasan konservasi.

“Saya juga mendorong kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berpihak pada kelestarian lingkungan dan masa depan generasi mendatang,” pungkasnya.

Sebelumnya, Greenpeace Indonesia menyebut adanya dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel yang merugikan lingkungan hidup dan masyarakat di Raja Ampat.

Greenpeace meminta Pemerintah Indonesia dan para pengusaha industri nikel untuk menghentikan tambang dan hilirisasi nikel di berbagai daerah, yang disebut telah membawa derita bagi masyarakat terdampak.

Industri nikel juga merusak lingkungan dengan membabat hutan, mencemari sumber air, sungai, laut, hingga udara, dan jelas akan memperparah dampak krisis iklim karena masih menggunakan PLTU captive sebagai sumber energi dalam pemrosesannya.