Bisnis.com, JAKARTA — Komisi VII DPR RI bersama Kementerian Pariwisata (Kemenpar) kembali membahas Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang No. 10/2009 tentang Kepariwisataan atau RUU Pariwisata pada hari ini.
Anggota Komisi VII DPR RI sekaligus Ketua Panitia (Panja) RUU Kepariwisataan Chusnunia Chalim menyampaikan terdapat setidaknya enam substansi baru dalam rancangan beleid ini dibandingkan UU sebelumnya.
“Pertama, adanya pergeseran cara pandang dalam kepariwisataan. RUU Kepariwisataan merekonstruksi landasan filosofis kepariwisataan, beralih dari pendekatan yang hanya berorientasi pada sumber daya menjadi pendekatan yang berpusat pada hak asasi manusia, pembangunan peradaban, dan penguatan identitas bangsa,” katanya dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2025).
Berikutnya atau poin kedua, dia melanjutkan bahwa draf ini juga memperkenalkan istilah baru yaitu ‘ekosistem kepariwisataan’ dan ‘warisan budaya’, serta memperbaharui definisi ‘wisata’, ‘pariwisata’, dan ‘kepariwisataan’. Hal ini diarahkan agar pengelolaan kepariwisataan lebih holistik dan terintegrasi.
Ketiga, Chusnunia menyebut bahwa RUU ini memperkenalkan 4 bab baru yang secara fundamental merestrukturisasi tata kelola kepariwisataan, yaitu Perencanaan Pembangunan Kepariwisataan, Destinasi Pariwisata, Pemasaran Pariwisata yang terpadu, dan bab Teknologi Informasi dan Komunikasi yang sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk digitalisasi.
Keempat, salah satu kebaruan yang dinilai paling menonjol dalam RUU ini adalah penempatan masyarakat dan budaya sebagai pilar sentral pembangunan kepariwisataan. Pihaknya memperkenalkan sistem klasifikasi pengembangan Desa Wisata atau Kampung Wisata, yang dibagi menjadi empat tahap, yaitu rintisan, berkembang, maju, dan mandiri.
“RUU memberikan definisi yang jelas untuk setiap klasifikasi berdasarkan kriteria seperti pengembangan potensi, ketersediaan sarana, tingkat kunjungan, dan kesadaran masyarakat,” ujarnya.
Chusnunia melanjutkan bahwa poin kelima mencakup pengakuan dan pelembagaan atas penggunaan budaya sebagai instrumen soft power dalam diplomasi dan pemasaran pariwisata, salah satunya dalam pasal 17T yang secara eksplisit menyebutkan pemanfaatan budaya dan diaspora Indonesia untuk memperkuat citra positif negara.
Pada poin keenam, RUU ini juga disebut memodernisasi kerangka hukum terkait hak, kewajiban, partisipasi, dan pendanaan untuk menciptakan ekosistem yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan.
“Di bidang pendanaan berkelanjutan, misalnya, diberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menarik pungutan dari Wisatawan mancanegara. Dana yang terkumpul dari pungutan ini secara spesifik dialokasikan kembali untuk kegiatan pengembangan kepariwisataan,” jelas Chusnunia.
Berdasarkan catatan Bisnis, pembahasan RUU Kepariwisataan sempat tertunda pada akhir periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan disepakati untuk dibahas pada era pemerintahan berikutnya.
DPR RI dan Kemenpar pun sepakat untuk mulai kembali membahas RUU Kepariwisataan pada awal tahun ini, tepatnya Senin (3/2/2025).
