DPR dan Arogansi Wakil Rakyat Nasional 25 Agustus 2025

DPR dan Arogansi Wakil Rakyat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 Agustus 2025

DPR dan Arogansi Wakil Rakyat
Dosen, Penulis dan Peneliti Universitas Dharma Andalas, Padang
PERNYATAAN
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni yang menyebut mereka yang meminta pembubaran DPR sebagai “mental orang tolol sedunia” menimbulkan kehebohan.
Kata-kata itu memang terdengar keras, tetapi justru semakin mempertegas jurang antara rakyat dan wakilnya. Jurang yang bukan lahir kemarin, melainkan sudah lama menganga akibat kinerja legislatif yang dirasakan jauh dari harapan.
Di era ketika kepercayaan publik terhadap lembaga negara menjadi sangat krusial, pernyataan bernada merendahkan justru menjadi kontraproduktif.
DPR, yang seharusnya menjadi representasi rakyat, semakin terkesan arogan dan alergi terhadap kritik.
Kritik ekstrem berupa seruan “bubarkan DPR” memang mengagetkan. Namun, harus dipahami, ia lahir dari rasa frustrasi masyarakat.
Tuntutan semacam itu bukan tanpa dasar. Survei Indikator Politik Indonesia (Mei 2025) menempatkan DPR pada posisi terbawah dalam hal kepercayaan publik.
 
Hanya 7,7 persen responden yang mengaku “sangat percaya”, sementara 23 persen lebih menyatakan tidak percaya.
Temuan lain dari Indonesia Political Opinion (IPO) pada bulan yang sama memperkuat gambaran tersebut. Hanya 45,8 persen publik yang menaruh kepercayaan pada DPR. Angka ini jauh di bawah presiden (97,5 persen) maupun TNI (92,8 persen).
Dengan posisi serendah itu, wajar jika muncul pertanyaan mendasar: apakah DPR masih layak dipercaya sebagai penyalur aspirasi rakyat?
Tidak mengherankan bila kemudian kritik yang muncul dari publik kian tajam. Sebagian bahkan melontarkan ide ekstrem berupa pembubaran DPR.
Secara konstitusional tentu hal itu tidak mudah, bahkan hampir mustahil. Namun, secara politik, ia adalah ekspresi kekecewaan yang sah.
Kekecewaan publik bukan hanya persoalan kinerja legislasi yang seret, tetapi juga catatan buram integritas. Kasus korupsi terus membayangi DPR.
Belum lama ini,
KPK menetapkan dua anggota DPR, Heri Gunawan dan Satori, sebagai tersangka
dalam kasus dugaan korupsi dana CSR Bank Indonesia dan OJK.
Kasus lain melibatkan
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, yang menjadi tersangka
dugaan korupsi pengadaan perlengkapan rumah jabatan anggota DPR.
Rangkaian kasus tersebut bukan insiden kecil. Ia memperkuat kesan bahwa DPR lebih sibuk dengan urusan keuntungan pribadi ketimbang kerja representasi.
Maka, ketika publik menaruh ketidakpercayaan, bukankah ada alasan yang cukup kuat?
Dalam teori politik, ada dua jenis legitimasi: formal dan substantif. Legitimasi formal DPR datang dari konstitusi; ia adalah lembaga yang dibentuk oleh Undang-undang Dasar. Namun, legitimasi substantif berasal dari penerimaan rakyat.
Ketika seorang legislator melabel rakyatnya sebagai “tolol”, legitimasi substantif itu semakin runtuh. Kata-kata kasar bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan bentuk arogansi yang merusak wibawa lembaga. Sebab demokrasi tidak tumbuh dari caci maki, tetapi dari dialog yang sehat.
Rakyat yang marah, bahkan sampai melontarkan ide pembubaran DPR, sesungguhnya sedang bersuara. Mereka menuntut perbaikan, bukan penghinaan.
Di sinilah seharusnya seorang legislator menempatkan diri. Tugasnya bukan menutup telinga, apalagi membalas dengan caci maki, melainkan menghadirkan argumen yang menenangkan. DPR harus menjawab dengan kerja, bukan amarah.
Bahasa seorang pejabat publik adalah bahasa negara. Ia mengandung bobot simbolik yang memengaruhi legitimasi lembaga.
Maka, setiap kata yang keluar dari seorang anggota DPR tidak boleh sekadar dimaknai sebagai luapan emosi personal, melainkan bagian dari komunikasi politik institusi.
Pertanyaannya: bagaimana DPR bisa memperbaiki citra?
Pertama, dengan meningkatkan kualitas legislasi. RUU yang dibahas harus benar-benar menjawab kebutuhan rakyat, bukan hanya melayani kepentingan elite atau kelompok tertentu.
Kedua, memperkuat fungsi pengawasan. DPR tidak boleh lagi menjadi sekadar mitra pasif eksekutif. Ia harus berani bersikap kritis, meskipun berisiko tidak populer di mata pemerintah.
Ketiga, integritas anggota. Tidak ada cara lain selain menutup pintu lebar-lebar terhadap praktik korupsi. Transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap etika harus menjadi standar minimal.
Keempat, membangun komunikasi politik yang humanis. Kritik publik harus direspons dengan dialog, bukan cacian. Sebab penghinaan hanya akan memperlebar jurang kepercayaan yang sudah dalam.
Ucapan Ahmad Sahroni yang menyebut rakyat dengan istilah “mental orang tolol sedunia” sesungguhnya adalah refleksi dari krisis kedewasaan politik yang lebih luas.
DPR, sebagai lembaga perwakilan rakyat, justru semakin kehilangan sentuhan etis yang mestinya menjadi dasar demokrasi.
Kemarahan rakyat memang nyata. Namun, ia tidak akan pernah lebih berbahaya dibanding keangkuhan elite yang lupa bahwa kekuasaan hanyalah mandat, bukan hak istimewa.
Jika DPR ingin tetap relevan, maka satu hal yang harus diingat: hormati rakyat. Sebab tanpa rakyat, DPR hanyalah gedung megah di Senayan yang penuh retorika, tetapi kosong makna demokrasi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.