Dokter PPDS Perkosa Anak Pasien: Izin Praktik Dicabut, Korban Berhak Aborsi?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dunia kedokteran dikejutkan dengan pemerkosaan anak pasien oleh Priguna Anugerah, dokter anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (
PPDS
) Universitas Padjajaran (Unpad) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat.
Peristiwa ini pertama kali viral setelah kasusnya diunggah di media sosial, salah satunya oleh akun @txtdari**** yang membagikan tangkapan layar pesan WhatsApp kepada seorang dokter.
Pesan tersebut berisi laporan dugaan tindak kekerasan seksual yang dilakukan dua dokter residen di RSHS kepada keluarga pasien.
”
Selamat malam dok. Maaf mengganggu. Dok, saya dapat informasi ada 2 residen anestesi Unpad melakukan pemerkosaan ke penunggu pasien (menggunakan obat bius, ada bukti CCTV lengkap)….
,” bunyi pesan dalam tangkapan layar tersebut, Selasa (7/4/2025).
Postingan itu lantas menyorot perhatian publik. Kata PPDS bahkan menjadi salah satu kata populer yang banyak diperbincangkan di X pada Rabu (8/4/2025) siang.
Priguna Anugerah memerkosa keluarga pasien pada pertengahan Maret 2025 di salah satu ruangan lantai 7 gedung RSHS.
Pada saat itu, pelaku yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Unpad meminta korban untuk menjalani
crossmatch
.
Alasan yang digunakan pelaku adalah mencocokkan jenis golongan darah yang akan ditransfusikan kepada orang lain.
Ketika didatangi oleh pelaku, korban sedang menjaga ayahnya yang menjalani perawatan dan membutuhkan transfusi darah.
Pelaku diketahui memerkosa korban dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Berdasarkan pengakuan korban, dia merasakan nyeri di bagian tangan yang telah diinfus dan area kemaluan setelah siuman.
Korban akhirnya menjalani visum dan hasilnya terdapat cairan sperma di area kemaluan.
Pihak keluarga tidak tinggal diam mengetahui hal tersebut dan melaporkan peristiwa yang dialami korban ke Polda Jabar.
Menanggapi kasus yang beredar, Kepala Kantor Hubungan Masyarakat (Humas) Unpad, Dandi Supriadi mengonfirmasi kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh salah satu mahasiswanya.
Unpad dan RSHS telah menerima laporan pelecehan seksual tersebut.
“Benar, ada insiden yang diduga melibatkan satu orang residen (bukan dua) yang merupakan mahasiswa kami,” kata Dandi saat dikonfirmasi
Kompas.com
, Rabu (9/4/2025).
Kemudian, Unpad memberikan sanksi tegas kepada pelaku berupa pemberhentian dari program PPDS.
Kemenkes
juga menghentikan kegiatan residensi PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.
Kemenkes sudah menginstruksikan kepada Dirut RSUP Hasan Sadikin untuk menghentikan sementara waktu Kegiatan residensi PPDS dan Terapi Intensif. Kegiatan dihentikan selama satu bulan untuk dievaluasi bersama FK Unpad.
Di sisi lain, Unpad juga berjanji akan mendampingi korban untuk melapor ke Polda Jawa Barat.
Saat ini, korban sudah mendapatkan pendampingan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar.
Unpad dan RSHS mengaku sepenuhnya mendukung proses penyelidikan Polda Jabar, serta berkomitmen melindungi privasi korban dan keluarga.
Adapun pelakunya sudah ditahan sejak 23 Maret 2025. Sejumlah barang bukti dalam kasus ini juga telah dikumpulkan penyidik.
Kasus ini mengundang laporan lain yang masuk. Setidaknya, ada dua korban lainnya yang turut melapor peristiwa yang sama.
Terkait nasib korban, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan memiliki pandangan terkait aborsi.
Menurut
Komnas Perempuan
, para korban perkosaan oleh Priguna Anugerah berhak menggugurkan kehamilan. Bukan tanpa alasan, hal ini merujuk pada Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
“Berhak menggugurkan kandungannya sebelum 14 minggu. Berdasarkan Pasal 75 ayat 2 UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer, dalam keterangannya, Sabtu (12/4/2025).
Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dalam kondisi tertentu, termasuk kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.
Chatarina juga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur lebih lanjut mengenai aborsi akibat perkosaan.
“Aborsi karena perkosaan hanya boleh dilakukan paling lama 40 hari sejak hari pertama haid terakhir,” ujarnya.
Tak hanya itu, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menetapkan kebijakan “Zona Tanpa Toleransi” terhadap kekerasan di seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia.
Komnas Perempuan mendorong agar RSHS untuk mengambil langkah konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual dalam bentuk apa pun sehingga kejadian serupa tidak terulang.
Peristiwa perkosaan ini juga diharapkan menjadi momentum untuk evaluasi menyeluruh terhadap jaminan ruang aman di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
Kemudian, rumah sakit harus menjadi tempat yang bebas dari kekerasan, baik bagi tenaga kesehatan maupun pasien dan keluarganya.
Namun, keputusan penghentian program PPDS bidang anestesiologi dan terapi intensif di RS Hasan Sadikin ini juga dinilai tidak tepat oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI).
Ketua Umum AIPKI Budi Santoso menilai, Indonesia saat ini kekurangan dokter spesialis. Penutupan sementara PPDS dinilai dapat menghambat proses pendidikan serta mengganggu pelayanan.
Budi mengatakan, penghentian pendidikan PPDS di rumah sakit vertikal oleh Kemenkes merupakan langkah reaktif yang sudah dilakukan sebanyak tiga kali.
”Kami berharap pemerintah dapat mengambil kebijakan yang lebih bijak, adil, dan mendukung keberlangsungan pendidikan kedokteran, serta mempertimbangkan dampak luas terhadap sistem pelayanan kesehatan nasional,” ujarnya.
Dia menilai, masalah ini adalah tindakan kriminalitas yang dilakukan individu.
Tindakan itu bukan kesalahan institusi pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, kasus ini sebaiknya disikapi secara obyektif dan proposional.
Institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan diharapkan bisa mengevaluasi dan menyelesaikan masalah internal secara profesional.
”Jadi, bukan dengan menutup atau menghentikan proses pendidikan secara reaktif,” kata Budi.
Tak hanya AIPKI, penghentian program PPDS juga dikritik Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Menurut Ketua Umum PB IDI Slamet Budiarto, penghentian program PPDS ini dikhawatirkan mengganggu proses pendidikan serta layanan pada pasien.
Dia menilai, keputusan menghentikan PPDS di rumah sakit tersebut kurang bijak, karena yang terlibat dalam kasus itu bukan institusinya.
”Begitu PPDS dihilangkan di rumah sakit itu, yang terkena (dampak) masyarakat dan dunia Pendidikan,” ujar Slamet.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Dokter PPDS Perkosa Anak Pasien: Izin Praktik Dicabut, Korban Berhak Aborsi? Nasional 13 April 2025
/data/photo/2025/04/09/67f65f3c1eb38.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)