Diplomasi ekologis dan pahlawan baru di era krisis iklim

Diplomasi ekologis dan pahlawan baru di era krisis iklim

Jakarta (ANTARA) – Perubahan iklim alias climate change bukan lagi konsep akademik yang cuma dibahas dan diulas di ruang kuliah ber-AC. Ia sudah mengetuk pintu rumah kita.

Kadang berupa banjir, kadang kekeringan nan panjang. Kadang cuma cuaca dan suhu yang kian sukar ditebak. Dunia pun berubah. Begitu pula halnya diplomasi, ikut berubah.

Dulu, diplomasi adalah perkara garis batas, perjanjian dagang, dan gengsi nasional. Sekarang, yang dipertaruhkan kian luas, yakni masa depan planet Bumi ini. Tidak ada lagi “urusan negara lain”. Pasalnya, kalau satu negara saja gagal menjaga hutan, semua negara ikut terimbas panas.

Saat ini, ada diplomat yang datang ke forum dunia, bukan membawa pidato kemenangan, tapi malah membawa kegelisahan. Mereka berbicara tentang hutan yang ditebang, permukaan laut yang naik, dan udara yang makin tipis.

Maka, diplomat ekologis di meja perundingan iklim pun harus dua kali berpikir sebelum berbicara. Pertama, ia berbicara untuk negaranya. Dan kedua, ia berbicara untuk Bumi. Dan tentu tidak mudah untuk menyeimbangkan keduanya.

Adu moralitas

Negosiasi iklim itu rumit. Ia bukan sekadar debat angka-angka dan komitmen. Ia adalah adu moralitas dalam bahasa diplomasi. Kadang terselip antara tanda koma dan jeda kalimat yang menentukan masa depan jutaan orang.

Di sanalah prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR) berperan. Semua negara memiliki tanggung jawab yang sama. Sayangnya, tidak setara. Negara maju menanggung beban sejarah emisinya, negara berkembang menanggung beban dampaknya. Itu realitanya.

CBDR bukanlah jargon. Ia adalah perisai moral bagi diplomat ekologis dari belahan Selatan dunia. Prinsip itu mengingatkan bahwa keadilan ekologis tidak bisa disamakan dengan pembagian beban yang rata. Tegasnya, keadilan butuh konteks, bukan hitung-hitungan kalkulator.

Diplomasi ekologis sendiri berjalan di garis tipis antara etika dan kepentingan. Kadang, diplomat harus menelan pil pahit demi menjaga hubungan. Tapi, yang benar-benar hebat adalah mereka yang bisa membuat moralitas dan pragmatisme berdamai di satu meja.

Para diplomat ekologis bukan lagi sekadar pembaca naskah dari kementerian luar negeri, tapi penerjemah nurani global. Mereka bicara atas nama generasi yang belum lahir. Mereka tahu, kegagalan dalam satu konferensi bisa berarti hilangnya pulau kecil di Pasifik atau punahnya spesies di hutan tropis.

Tantangan terbesar dari diplomasi ekologis adalah waktu. Alam tak mengenal tenggat politik. Ia tak peduli kapan masa jabatan presiden berakhir atau kapan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB )ditutup. Sementara diplomasi hidup dari negosiasi yang lambat, penuh kalkulasi, dan seribu catatan kaki.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.