JABAR EKSPRES – Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie menyelenggarakan diskusi terbatas bertajuk Dinamika Reformasi Tata Kelola Intelijen Indonesia. Acara ini menghadirkan sejumlah akademisi, peneliti, dan praktisi untuk mendiskusikan tantangan dan prospek reformasi intelijen di Indonesia. Diskusi ini merupakan kelanjutan dari diskusi serupa yang diadakan Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie bulan Oktober 2024 yang lalu.
Diskusi dimoderatori oleh Yudha Kurniawan, dosen Ilmu Politik Universitas Bakrie, yang menegaskan perlunya reformasi kelembagaan intelijen untuk memperkuat Badan Intelijen Negara (BIN). Reformasi intelijen di Indonesia sendiri telah menghasilkan UU Nomor 17/2011.
Diskusi ini menyoroti empat aspek penting yang perlu menjadi fokus reformasi tata kelola intelijen di Indonesia, yaitu: penguatan fungsi intelijen untuk memberikan deteksi dini ancaman, pengelolaan sistem rekrutmen dan staffing, transformasi kultur intelijen, serta penguatan mekanisme pengawasan terhadap lembaga intelijen.
Rizal Darma Putra, Direktur Eksekutif LESPERSSI, menekankan bahwa keberhasilan lembaga intelijen terletak pada kemampuannya untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan merespons ancaman dengan tepat waktu. Model pendekatan berbasis ancaman (threat-based intelligence) menjadi standar utama dalam operasionalisasi badan intelijen di banyak negara. BIN harus mampu menerapkan metode ini agar tidak hanya bereaksi terhadap peristiwa yang sudah terjadi, tetapi juga dapat mencegah ancaman sebelum mencapai titik eskalasi.
Di tengah proses transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto, tugas memberikan analisis ancaman tersebut menjadi krusial. Meski masih diperdebatkan apakah ancaman tersebut sifatnya harus eksternal atau bisa juga internal, berbagai permasalahan ekonomi yang muncul belakangan ini bisa jadi merupakan simptom dari kinerja intelijen yang belum ajeg. Kejutan-kejutan tersebut harus dicegah agar pemerintah dapat lebih fokus dalam menjalankan agenda-agenda pembangunan ke depan.
Hal tersebut juga terkait dengan metode kerja dan kultur intelijen yang ingin dibangun di Indonesia. Kerja intelijen lebih banyak dilakukan secara tertutup sehingga bina jaring menjadi hal yang krusial. Hal ini menjadi tantangan mengingat secara riil ada efisiensi anggaran yang berpotensi memotong kemampuan pengelolaan jaringan oleh anggota badan intelijen tersebut. Bukan rahasia jika anggaran BIN di periode sebelumnya sangat besar.