Dilema Kepunahan atau Mewariskan Budaya di Indonesia
Aktif menulis tentang sosial keagamaan, mengasuh ponpes Ash-Shalihin Gowa dan Alumni UIN Jakarta
TANGGAL
17 Oktober telah resmi ditetapkan sebagai Hari Kebudayaan Nasional (HKN) di Indonesia. Penetapan hari penting ini, yang berawal dari inisiatif para pelaku budaya dan akademisi, bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan sebuah penanda genting atas dilema besar yang dihadapi bangsa ini: antara kepunahan warisan adiluhung atau mewariskannya sebagai kekuatan identitas di tengah arus globalisasi yang tak terhindarkan.
HKN seharusnya menjadi momentum kolektif untuk merenungkan, mengevaluasi, dan merevitalisasi upaya pelestarian budaya kita. Indonesia adalah permadani raksasa dengan ribuan helai budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan ini meliputi ratusan bahasa daerah, kearifan lokal, sistem pengetahuan tradisional, seni pertunjukan, hingga teknik kerajinan tangan.
Namun, ironisnya, kekayaan ini juga berada di ambang kerapuhan. Laporan dan penelitian terus menunjukkan adanya penurunan drastis dalam jumlah penutur bahasa daerah, hilangnya pengetahuan tradisional khususnya yang diwariskan secara lisan serta memudarnya minat generasi muda terhadap praktik budaya lokal. Inilah wajah nyata ancaman kepunahan.
Senyapnya warisan kearifan lokal dan ancaman kepunahan budaya di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, melainkan hasil dari perpaduan faktor internal dan eksternal. Salah satu yang paling kritis adalah keterputusan rantai regenerasi. Pengetahuan budaya, yang selama ini mengandalkan transmisi lisan dari tetua adat atau maestro ke generasi penerus, kini terputus oleh modernisasi.
Anak-anak muda, yang sibuk dengan pendidikan formal dan terhanyut dalam dunia digital, seringkali menganggap pengetahuan tradisional sebagai sesuatu yang kuno atau tidak relevan. Ketika seorang penenun ulung atau seorang dukun tradisional meninggal, teknik menganyam atau ramuan pengobatan yang dia kuasai bisa ikut lenyap selamanya karena tidak sempat didokumentasikan.
Globalisasi dan penetrasi budaya luar yang masif, terutama melalui media digital, memperparah kondisi ini. Budaya populer asing, seperti drama Korea atau musik Barat, lebih mudah diakses dan lebih menarik bagi sebagian besar generasi muda dibandingkan pertunjukan wayang semalam suntuk atau tari tradisional yang memerlukan pemahaman filosofi mendalam.
Hal ini menciptakan krisis jati diri budaya, di mana masyarakat, secara perlahan, kehilangan keterikatan dengan nilai-nilai dan tradisi yang telah membentuk identitas mereka. Ketika nilai-nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman moral memudar, dampaknya bisa merembet ke tantangan sosial, seperti peningkatan sifat individualisme yang berlebihan.
Selain itu, masalah internal seperti kurangnya apresiasi dan dukungan yang memadai dari pemerintah terutama dalam bentuk alokasi anggaran yang minim untuk program kebudayaan serta konsep pelestarian yang kurang tepat turut menjadi penghambat. Budaya tidak cukup hanya diabadikan di museum atau menjadi objek penelitian, hal ini harus dihidupkan, dipraktikkan, dan diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Mewariskan budaya menjadikan warisan relevan dan berdaya. Dilema kepunahan hanya bisa dijawab dengan tekad kuat untuk mewariskan budaya secara efektif. Hari Kebudayaan Nasional harus menjadi motor penggerak untuk mentransformasi cara pandang masyarakat terhadap budaya, dari sekadar peninggalan masa lalu menjadi kekuatan yang relevan dan berdaya saing di masa depan.
Upaya pewarisan budaya tidak bisa lagi mengandalkan model transmisi lisan semata. Di era digital, pewarisan harus dilakukan melalui dua pendekatan utama yaitu pengalaman budaya atau
culture experience
dan pengetahuan budaya atau
culture knowledge
. Hal ini perlu didukung oleh teknologi dan kebijakan yang progresif.
Upaya menjaga budaya tetap relevan hingga hari ini, dapat dilakukan melalui: Pertama, revitalisasi melalui ruang media digital. Ini sering dianggap sebagai ancaman, padahal sesungguhnya adalah peluang besar untuk menjaga budaya yaitu merevitalisasi budaya.
Generasi muda harus didorong untuk mengemas ulang tradisi dalam bentuk yang lebih menarik, seperti film pendek, musik kontemporer, permainan digital, atau konten media sosial. Ini adalah strategi yang disebut “digitalisasi budaya” untuk memastikan bahwa narasi lokal mendapat tempat di tengah dominasi narasi global. Melalui platform digital, kesenian dan kearifan lokal bisa menjangkau audiens yang lebih luas, melintasi batas geografis dan generasi.
Kedua, integrasi dalam pendidikan dan apresiasi pewarisan yang terstruktur harus dimulai dari pendidikan. Mengintegrasikan pelajaran budaya lokal ke dalam kurikulum sekolah, tidak hanya sebagai teori, tetapi juga sebagai praktik langsung (
Culture Experience
). Tentu ini akan menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan sejak dini.
Ketiga, pemerintah dan masyarakat harus memberikan apresiasi nyata kepada para pelaku budaya, seperti penari, pengrajin, dan penutur tradisi lisan, bukan hanya sebagai penjaga masa lalu, melainkan sebagai aset bangsa yang harus dimuliakan. Apresiasi ini juga harus mencakup dukungan ekonomi agar budaya dapat menjadi sumber mata pencaharian yang berkelanjutan.
Terakhir, pemberdayaan kearifan lokal. Inti dari pewarisan budaya adalah kearifan lokal yang terkandung di dalamnya, meliputi sistem pengetahuan tentang alam, pengobatan, hingga organisasi sosial. Upaya pelestarian harus fokus pada pemberdayaan kearifan lokal ini di kantong-kantong budaya di seluruh Nusantara. Ini berarti menghidupkan kembali praktik-praktik budaya dalam komunitasnya, memastikan bahwa bahasa daerah digunakan dalam percakapan sehari-hari, dan sistem pengetahuan tradisional dicatat dan dipelajari.
Hari Kebudayaan Nasional, yang diperingati setiap 17 Oktober, harus berfungsi sebagai titik balik dari kecemasan akan kepunahan menuju optimisme pewarisan. Ini adalah waktu bagi semua elemen bangsa dari pemerintah, akademisi, pelaku budaya, dan terutama generasi muda untuk mengambil tanggung jawab bersama.
HKN harus dimaknai sebagai penegasan bahwa budaya adalah investasi masa depan, bukan sekadar warisan yang dipajang. Budaya adalah identitas nasional yang kuat, alat diplomasi yang efektif, dan sumber ekonomi kreatif yang tak terbatas. Dengan menetapkan hari khusus ini, Indonesia menyatakan komitmennya untuk memastikan bahwa kisah, ilmu, dan keindahan Nusantara tidak akan lenyap ditelan zaman.
Mewariskan budaya berarti tidak hanya menyimpan warisan, tetapi juga menghidupkannya, memberinya nafas baru, dan membuatnya berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh generasi milenial dan generasi Z. Mari jadikan 17 Oktober bukan hanya sebatas perayaan, tetapi sebagai awal dari gerakan masif untuk menyelamatkan dan menguatkan jati diri bangsa. Pilihan ada di tangan kita: membiarkan budaya kita punah, atau menjadikannya obor yang menerangi masa depan Indonesia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Dilema Kepunahan atau Mewariskan Budaya di Indonesia Nasional 16 Oktober 2025
/data/photo/2025/09/21/68cfc99c25897.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)