Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengeluhkan ketiadaan jatah pupuk bersubsidi untuk hasil perkebunan tembakau. Padahal, industri hasil tembakau saat ini tengah tertekan imbas kenaikan cukai hasil tembakau (CHT).
Ketua Umum APTI Agus Pramuji mengatakan, petani tembakau tidak mendapatkan jatah pupuk subsidi sejak 2012. Dia pun berharap tembakau yang juga menjadi komoditas strategis mendapatkan minimum kuota pupuk subsidi.
“Besar [kebutuhan pupuk] dalam 1 tahun untuk pertanian tembakau kalau kita ambil empat provinsi besar aja itu ratusan ribu ton,” kata Agus saat ditemui di Kompleks Parlemen DPR RI, Senin (4/11/2024).
Agus menyebut terdapat indikasi diskriminasi dari pemerintah terkait pupuk subsidi yang ditiadakan untuk tanaman tembakau dengan tanaman pangan lainnya.
Padahal, pertanian tembakau di Indonesia melibatkan 6,1 juta orang yang terdiri atas petani dan buruh tani. Tenaga kerja tersebut menggarap area seluas 247.064 hektare yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia dengan produksi 236.243 ton per tahun.
“Plotting pupuk bersubsidi untuk tanaman tembakau itu nggak ada. Paling ada dapat jatah, karena sama-sama perkebunan, sama-sama itu komoditas strategis, ini kan diskriminasi, keanekaragaman budaya di Indoensia,” ujarnya.
Di samping itu, Agus mengeluhkan belum adanya perlindungan regulasi tentang budidaya pertembakauan dan petani tembakau. Bahkan, regulasi terkait tata niaga pemasaran, penyerapan tembakau hingga harga minimal belum tersedia.
Untuk itu, melalui rapat dengar pendapat umum dengan Badan Legislasi DPR RI hari ini, Agus kembali mengusulkan terkait RUU Pertembakauan yang sebelumnya telah diusulkan sejak tahun 2008.
“Harapannya di periode 2024-2025 ini di awal setelah pelantikan anggota DPR baru, kemudian Baleg menginiasiasi untuk percepatan RUU Perkebunan Strategis secara umum semoga saja ada penyesuaian sebagai solusi pertanian dan perkebunan,” tuturnya.
Lebih lanjut, petani tembakau juga menyoroti penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk ditambahkan porsi terhadap kebutuhan pemberdayaan petani tembakau, termasuk untuk kualitas bahan baku, subtitusi impor, hingga produktivitas tembakau.
“Ketika pemerintah bisa mengalokasikan DBHCHT yang 2% ditambah menjadi 5% atau 10% kemudian porsi struktur aturannya itu benar maka semua akan sejahtera, meskipun instrumen penghancuran petani tembakau itu satu, cukai,” pungkasnya.