Dibom Israel, Jurnalis Al Jazeera Hossam Shabat Terbunuh Kurang Satu Jam Setelah Kematian Rekan
TRIBUNNEWS.COM – Jurnalis, Hussam Shabat, kontributor Al Jazeera Mubasher, dilaporkan terbunuh pada Senin (24/3/3035) dalam serangan udara Israel yang menargetkan mobilnya di Jabalia, sebelah utara Jalur Gaza.
Serangan itu terjadi kurang dari satu jam setelah ia mengunggah berita kematian rekannya, jurnalis Mohammed Mansour, seorang koresponden untuk Palestine Today, di Facebook akibat serangan udara serupa yang menargetkan apartemennya di Khan Yunis, sebelah selatan Jalur Gaza.
Kantor Media Pemerintah di Gaza mengumumkan kalau jumlah jurnalis yang terbunuh sejak dimulainya perang Israel di Jalur Gaza telah meningkat menjadi 208 jiwa, menyusul kematian Shabat.
Dalam pernyataan, kantor tersebut menyatakan, “Mengutuk sekeras-kerasnya tindakan pendudukan Israel yang menargetkan, membunuh, dan menghabisi jurnalis Palestina, serta menyerukan kepada Federasi Jurnalis Internasional, Federasi Jurnalis Arab, dan semua badan jurnalistik di seluruh dunia untuk mengutuk kejahatan sistematis terhadap jurnalis Palestina dan pekerja media di Jalur Gaza.”
KRISIS KEMANUSIAAN – Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan lebih dari satu juta orang di Gaza tengah dan Gaza selatan tidak menerima pasokan makanan apa pun selama bulan Agustus dan situasi kemanusiaan di Gaza masih sangat buruk. (Anadolu Agency)
Kelaparan Akut
Selain bombardemen, Israel juga menerapkan blokade bantuan ke Jalur Gaza.
Larangan dari Israel terhadap masuknya pasokan ke Jalur Gaza mendorong daerah kantong itu lebih dekat ke krisis kelaparan akut, kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan pada hari Minggu, Anadolu Agency melaporkan.
“Sudah tiga minggu sejak otoritas Israel melarang masuknya pasokan ke Gaza,” kata Philippe Lazzarini dalam sebuah pernyataan.
“Tidak ada makanan, tidak ada obat-obatan, tidak ada air, tidak ada bahan bakar. Pengepungan ketat berlangsung lebih lama dari yang terjadi pada fase pertama perang.”
Israel telah melarang masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza sejak 4 Maret, menyusul berakhirnya tahap pertama gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan dengan Hamas.
Lazzarini memperingatkan bahwa penduduk Gaza bergantung pada impor melalui Israel untuk kelangsungan hidup mereka.
“Setiap hari yang berlalu tanpa bantuan yang masuk berarti semakin banyak anak yang tidur dalam keadaan kelaparan, penyakit menyebar, dan kemiskinan semakin parah,” katanya.
“Setiap hari tanpa makanan, Gaza semakin dekat dengan krisis kelaparan akut,” kata kepala UNRWA.
“Melarang bantuan adalah hukuman kolektif bagi Gaza: sebagian besar penduduknya adalah anak-anak, wanita, dan pria biasa.”
Lazzarini menyerukan agar pengepungan Israel dicabut, semua sandera dibebaskan, dan bantuan kemanusiaan serta pasokan komersial diberikan secara “tanpa gangguan dan dalam skala besar.”
Tentara Israel telah melancarkan operasi udara mendadak di Gaza sejak Selasa, menewaskan lebih dari 700 warga Palestina, melukai lebih dari 1.200 lainnya, dan menghancurkan gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan yang berlaku pada bulan Januari.
Lebih dari 50.000 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan lebih dari 113.000 terluka dalam serangan brutal militer Israel di Gaza sejak Oktober 2023.
Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan November lalu untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di daerah kantong tersebut.