Ponorogo (beritajatim.com) – Tanah di Dukuh Puyut, Desa Plalangan, Kecamatan Jenangan, tidak lagi utuh. Bekas torehan alat berat membentuk tebing curam di bibir sungai. Saat hujan turun, air tak hanya mengalir, tapi bisa saja menggerus, dan itu perlahan tapi pasti.
Namun, kali ini suasana di lahan bekas tambang itu berubah. Puluhan jurnalis yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Ponorogo dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Mataraman datang bukan membawa kamera untuk meliput bencana, melainkan bibit pohon untuk mencegahnya.
Mereka menanam ratusan bibit di tanah yang lama ditinggalkan tanpa reklamasi. Bukan lokasi sembarangan. Area ini merupakan sempadan sungai, wilayah yang secara aturan dilarang untuk ditambang. Namun pasirnya telah lama diambil, menyisakan lubang, tebing rawan longsor, dan kekhawatiran warga.
Ketua IJTI Korda Mataraman, Ahmad Subeki, menyebut kondisi tersebut sebagai potret penambangan yang berjalan tanpa kendali dan tanggung jawab.
“Ini bekas tambang, diambil pasirnya, dan ini sebenarnya lahan yang tidak boleh ditambang karena masuk sempadan sungai yang ternyata secara sepihak diambil oleh pelaku. Kita enggak tahu siapa pelakunya,” kata Ahmad Subeki, Kamis (18/12/2025).
Subeki menatap tebing sungai yang terus tergerus. Dia menyebut ancaman longsor bukan sekadar kemungkinan, melainkan risiko yang terus membesar seiring waktu. Jika tanah ini dibiarkan, bencana tinggal menunggu hujan berikutnya.
“Kalau ini diteruskan, itu longsor terus, dan di sana rumah. Itu mengancam perumahan. Kalau besar, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi seperti di Aceh, ada bencana besar, longsor, dan lain sebagainya. Makanya hari ini kita mulai menanam di sini,” tambah Subeki.
Di tengah aktivitas penanaman, Plt Bupati Ponorogo, Lisdyarita, turut hadir. Dia menyambut baik inisiatif para jurnalis yang memilih bertindak lebih dulu sebelum bencana datang. Menurutnya, pemulihan lingkungan harus memberi manfaat jangka panjang bagi warga.
“Itu bisa tanaman buah. Nah, ketika tanaman buah, kalau panen kan bisa dinikmati masyarakat juga,” kata Lisdyarita.
Namun, dukungan itu disertai peringatan keras. Lisdyarita mengingatkan para penambang agar tidak memperlakukan alam seperti ladang bebas garap. Ada aturan, ada batas, dan ada konsekuensi hukum yang mengintai pelanggaran.
“Intinya kepada para penambang, harap berhati-hati karena jangan main asal menambang. Benar-benar dilihat lokasinya, jangan sampai nanti hubungannya dengan permasalahan hukum,” tegasnya.
Kekhawatiran Lisdyarita tak berhenti di Jenangan. Dirinya juga menyinggung wilayah Ngebel, kawasan wisata alam yang juga menyimpan banyak bekas tambang. Ketidakpastian kondisi tanah dan kedalaman telaga membuatnya waswas akan potensi bencana alam.
“Cuma yang saya takutkan yang di Ngebel itu, saya agak ngeri yang di Ngebel karena bekas tambang banyak itu. Karena di Ngebel ini kan kita ada telaga, di mana kalau itu ada terus pergerakan terus, takutnya kita kan sampai hari ini kedalaman dari Telaga Ngebel itu masih kurang lebih belum pastinya belum ada. Itu agak ditakutkan,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua PWI Ponorogo, Arso, menyebut Desa Plalangan dipilih karena tingkat kerawanannya tinggi. Tanah bekas tambang yang tidak direklamasi menjadi jalur rawan longsor setiap musim hujan. Dia pun menegaskan, kegiatan ini lahir dari kepedulian, bukan kepentingan.
“Jadi ini semua swadaya, teman-teman biayanya patungan, ada yang membawa nasi bungkus, ada yang membawa air mineral, dan bibit pun kita menyiapkan sendiri, tidak ada bantuan dari mana pun,” pungkas Arso.
Hari itu, bibit-bibit kecil ditanam di tanah yang pernah dirusak. Belum tentu semuanya tumbuh. Namun setidaknya, ada ikhtiar untuk menghentikan kerusakan sebelum berubah menjadi berita duka. Di bibir sungai yang terluka, para jurnalis menanam bukan hanya pohon, tetapi harapan agar alam diberi kesempatan pulih, dan manusia belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. (end/kun)
