Di Balik Air Mata Hakim

Di Balik Air Mata Hakim

Di Balik Air Mata Hakim
Praktisi Hukum
BEBERAPA
hari terakhir, publik dihebohkan pemberitaan tentang tangisan Hakim Effendi saat memimpin persidangan kasus dugaan suap yang melibatkan lima rekan sejawatnya sesama hakim.
Mereka terjerat kasus pengurusan perkara korporasi ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Berbagai komentar bermunculan di media sosial, mulai dari simpati hingga mencibir. Ada yang mempertanyakan profesionalitas, ada pula yang menganggap sebagai sandiwara.
Namun, izinkan saya untuk memberikan perspektif yang lebih utuh tentang peristiwa ini.
Air mata Hakim Effendi bukanlah tanda kelemahan atau ketidakprofesionalan. Sebaliknya, tangisan tersebut justru menunjukkan integritas seorang hakim yang sangat memahami beratnya tanggung jawab yang diembannya.
Hakim Effendi secara terbuka menyampaikan pernyataan: “Selama saya jadi hakim, inilah persidangan yang berat buat saya,” dan “Seluruh angkatan kita menengok ke kita sekarang. Mungkin saya akan dihujat, tapi tugas negara ini harus saya emban.
Dari pernyataan tersebut kita menyaksikan seorang hakim yang sedang berdiri di persimpangan antara hubungan personal dan kewajiban konstitusional.
Hakim Effendi mengenal baik beberapa terdakwa. Bahkan dengan Muhammad Arif Nuryanta, ia pernah sama-sama bertugas di Provinsi Riau—Effendi sebagai Ketua PN Dumai dan Arif sebagai Ketua PN Pekanbaru.
Mereka merintis karier bersama, mengikuti pendidikan dan pelatihan hakim bersama-sama. Dalam konteks profesi hakim di Indonesia, hal seperti ini bukan sesuatu yang langka.
Pertanyaan pentingnya kemudian: Mengapa Hakim Effendi tidak mengundurkan diri dari perkara ini?
Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), terdapat prinsip-prinsip fundamental yang harus dijaga oleh setiap hakim, terutama prinsip independensi dan ketidakberpihakan (
impartiality
).
Hakim harus mengundurkan diri (
recuse
) dari suatu perkara jika:
Hubungan pertemanan atau habituasi (kebiasaan bertemu) sesama hakim, sepanjang tidak ada kepentingan pribadi atau keterlibatan langsung, tidak secara otomatis mewajibkan seorang hakim untuk
recuse.
Ini adalah perbedaan penting yang perlu dipahami publik.
Yang harus ditekankan adalah: apakah hakim tersebut mampu bersikap adil dan tidak berpihak meskipun ada hubungan personal? Inilah esensi sejati dari independensi peradilan.
Perlu diketahui publik bahwa Hakim Effendi adalah Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam posisinya, ia sebenarnya bisa menugaskan hakim lain untuk memimpin persidangan ini.
Namun, ia memilih untuk terjun langsung memimpin majelis hakim yang mengadili kasus ini. Keputusan ini bukan sembarangan. Ini adalah pilihan yang sangat sadar dan penuh perhitungan moral.
Sebagai pimpinan pengadilan, ia memilih untuk “lead from the front” memimpin dari garis depan, bukan dari balik meja. Ini menunjukkan beberapa hal penting.
Pertama, sebagai Wakil Ketua PN, Hakim Effendi memahami bahwa kasus ini bukan hanya soal lima hakim yang didakwa, tetapi juga tentang kredibilitas institusi peradilan secara keseluruhan.
Dengan terjun langsung, ia menunjukkan bahwa pimpinan tidak lepas tangan dalam menghadapi kasus internal yang sensitif.
Kedua, keputusan ini menunjukkan prinsip
accountability
di level tertinggi. Mudah bagi seorang pimpinan untuk mendelegasikan perkara yang berat dan sensitif kepada bawahan.
Jauh lebih berani untuk mengambil tanggung jawab langsung, terutama ketika ada risiko dikritik dan dihujat.
Ketiga, ini adalah bentuk kepemimpinan transformatif dalam reformasi peradilan. Ketika pimpinan sendiri yang memimpin proses “pembersihan internal”, ini mengirimkan pesan kuat: tidak ada toleransi untuk korupsi, tidak peduli setinggi apa posisi atau sedekat apa hubungan personal.
Keputusan Hakim Effendi untuk tidak mengundurkan diri dan bahkan memilih terjun langsung justru menunjukkan komitmen pada prinsip “tidak ada yang kebal hukum” (
equality before the law
).
Ia memilih jalan yang paling berat: membuktikan bahwa sistem peradilan Indonesia mampu mengadili siapa pun, termasuk hakim-hakim yang menyalahgunakan kewenangannya, tanpa pandang bulu—dan pemimpin institusi yang memimpin langsung proses ini.
Bayangkan jika setiap hakim yang kebetulan mengenal terdakwa sesama hakim harus mengundurkan diri—maka hampir tidak akan ada hakim yang bisa mengadili kasus-kasus internal peradilan ini.
Lebih jauh lagi, bayangkan jika pimpinan pengadilan hanya mendelegasikan tanpa terjun langsung—publik akan mempertanyakan keseriusan institusi dalam berbenah.
Air mata yang mengalir di ruang sidang Hatta Ali itu adalah bukti bahwa Hakim Effendi sangat menyadari beratnya amanah yang dipikulnya.
Sebagai Wakil Ketua PN, ia tahu bahwa keputusan ini akan diawasi lebih ketat lagi. Ia tahu bahwa ia akan dikritik dari berbagai pihak.
Namun, ia memilih untuk tetap memimpin langsung karena itulah tugasnya, itulah sumpah jabatannya, dan itulah yang dituntut dari seorang pemimpin sejati.
Perlu dipahami bahwa hakim adalah manusia. Kode Etik Hakim tidak melarang hakim untuk memiliki perasaan—yang dilarang adalah membiarkan perasaan tersebut memengaruhi putusan secara tidak adil.
Reaksi emosional Hakim Effendi di awal persidangan justru menunjukkan transparansi dan kejujuran. Ia tidak menyembunyikan perasaannya. Namun di saat yang sama, ia menegaskan komitmennya untuk tetap profesional.
Persidangan tetap berjalan sesuai prosedur hukum acara. Pemeriksaan tetap dilakukan dengan seksama. Hak-hak terdakwa tetap dilindungi.
Bahkan, dalam perkembangan persidangan selanjutnya, para terdakwa mengakui perbuatan mereka. Ini menunjukkan bahwa proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya—bukan karena “teman mengadili teman”, tetapi karena bukti dan fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Kasus ini sebenarnya adalah momen bersejarah bagi peradilan Indonesia. Ini adalah bukti nyata bahwa lembaga peradilan tidak melindungi oknum-oknumnya yang melakukan pelanggaran berat.
Tidak ada “korps-koropsan” dalam penegakan hukum. Tidak ada perlindungan bagi siapa pun yang mengkhianati sumpah jabatannya, betapa pun tinggi posisinya atau dekatnya hubungan personal.
Yang lebih penting lagi: reformasi ini dipimpin langsung oleh pimpinan pengadilan. Ini bukan sekadar delegasi tugas kepada hakim bawahan. Ini adalah bentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab, yang berani mengambil risiko reputasional demi integritas institusi.
Hakim-hakim yang terbukti menerima suap ini sedang diadili di pengadilan yang selama ini mereka pimpin. Mereka duduk di kursi terdakwa yang dulu mereka gunakan untuk mengadili orang lain.
Dan yang memimpin persidangan adalah wakil ketua pengadilan mereka sendiri—bukan orang luar, bukan hakim dari pengadilan lain, tetapi dari institusi yang sama. Ini adalah implementasi nyata dari prinsip ”
justice must not only be done, but must also be seen to be done.

Air mata Hakim Effendi adalah simbol dari reformasi peradilan yang tidak mudah, penuh dilema moral, tetapi harus tetap dijalankan oleh mereka yang memiliki tanggung jawab kepemimpinan.
Ini adalah bukti bahwa institusi peradilan mampu berbenah dari dalam, dipimpin oleh pemimpinnya sendiri, dan mampu membuktikan komitmennya pada keadilan.
Ada beberapa pembelajaran penting yang dapat kita petik dari peristiwa ini.
Pertama, independensi peradilan bukan berarti hakim harus seperti robot tanpa perasaan. Independensi bermakna kemampuan untuk bersikap adil meskipun ada tekanan emosional atau tekanan eksternal.
Kedua, integritas diuji justru pada saat-saat tersulit. Mudah untuk menjatuhkan vonis pada orang yang tidak kita kenal. Jauh lebih berat untuk tetap adil pada orang yang kita kenal, tapi di situlah integritas sejati diuji.
Ketiga, kepemimpinan sejati ditunjukkan bukan pada saat mudah, tetapi pada saat sulit. Hakim Effendi sebagai Wakil Ketua PN bisa saja mendelegasikan perkara ini, tetapi ia memilih memimpin langsung. Inilah kepemimpinan yang bertanggung jawab.
Keempat, transparansi emosi tidak sama dengan ketidakprofesionalan. Justru dengan mengungkapkan perasaannya secara terbuka, Hakim Effendi menunjukkan kejujuran dan tidak ada yang disembunyikan dari publik.
Kelima, sistem peradilan Indonesia menunjukkan bahwa reformasi internal adalah mungkin, dan lebih bermakna ketika dipimpin dari dalam oleh para pemimpinnya sendiri. Tidak perlu menunggu intervensi eksternal—peradilan mampu membersihkan dirinya sendiri.
Kepada publik yang telah mengikuti perkara ini, saya mengajak kita semua untuk melihat gambaran yang lebih besar.
Ya, hakim adalah manusia yang bisa menangis. Namun, tangisan itu bukan tanda kelemahan—itu adalah tanda kesadaran akan tanggung jawab yang luar biasa berat, terlebih ketika ia adalah seorang pemimpin yang memilih untuk tidak bersembunyi di balik delegasi.
Kepada mereka yang mencibir, saya ingin bertanya: Pernahkah Anda berada dalam posisi harus membuat keputusan yang akan menyakiti orang-orang yang Anda sayangi, demi prinsip yang lebih besar?
Pernahkah Anda, sebagai pemimpin, harus memilih antara mendelegasikan tanggung jawab berat kepada bawahan atau mengambilnya sendiri, meski akan dikritik habis-habisan?
Jika ya, mungkin Anda akan memahami beban yang dipikul oleh Hakim Effendi.
Kepada media massa, saya menghimbau agar pemberitaan tentang proses peradilan dilakukan secara utuh dan berimbang.
Fokus bukan hanya pada momen emosional, tetapi juga pada konteks kepemimpinan dan makna pentingnya bagi reformasi peradilan Indonesia.
Fakta bahwa seorang Wakil Ketua PN terjun langsung memimpin persidangan ini adalah berita yang sama pentingnya dengan air mata yang mengalir.
Kasus ini bukan hanya tentang lima hakim yang tersandung korupsi. Ini tentang sistem peradilan yang berani mengadili dirinya sendiri.
Ini tentang seorang pemimpin yang memilih jalan terberat dan tidak mendelegasikan tanggung jawab moral.
Ini tentang hakim yang memilih keadilan di atas kenyamanan personal. Dan ini tentang kita semua sebagai bangsa yang harus memahami bahwa keadilan sejati membutuhkan pengorbanan, termasuk pengorbanan emosional dari mereka yang memimpin.
Sidang tuntutan dijadwalkan pada 29 Oktober 2025. Majelis hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua PN Jakarta Pusat harus memutus berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, bukan berdasarkan hubungan personal.
Mari kita dukung proses peradilan yang sedang berjalan. Mari kita berikan kepercayaan kepada sistem untuk membuktikan dirinya mampu berbenah, dipimpin oleh pemimpinnya sendiri yang tidak lari dari tanggung jawab.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.