Bisnis.com, JAKARTA — Pakar politik Arifki Chaniago menilai polemik terkait dorongan penetapan banjir di sejumlah wilayah Sumatra sebagai bencana nasional perlu ditempatkan dalam konteks yang seimbang, baik dari sudut pandang politik maupun tata kelola kebencanaan.
Dia menekankan bahwa pembahasan ini tidak hanya soal penetapan status, tetapi juga menyangkut cara pemerintah menyampaikan informasi kepada publik di tengah situasi genting.
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia tersebut melihat adanya alasan logis baik dari pihak yang mendorong maupun yang menolak status bencana nasional. Mereka yang mendukung, kata Arifki, biasanya melihat eskalasi bencana yang memicu dugaan bahwa kapasitas penanganan di tingkat daerah mulai menurun. Dalam kondisi itu, status nasional dinilai dapat mempercepat koordinasi antar-kementerian sekaligus menguatkan legitimasi peran pemerintah pusat.
Namun Arifki juga menegaskan bahwa keputusan semacam ini tidak bisa diambil terburu-buru. Ia mengingatkan adanya sejumlah indikator objektif—mulai dari jumlah korban jiwa, tingkat kerusakan, gangguan layanan publik, hingga kapasitas fiskal daerah—yang wajib dijadikan rujukan sebelum sebuah bencana ditetapkan berstatus nasional.
“Selain itu, pemerintah pusat sebenarnya sudah mengerahkan sumber daya nasional melalui BNPB, TNI, Polri, Kementerian Sosial, dan berbagai instrumen lainnya. Jika seluruh operasi lapangan sebenarnya sudah bertaraf nasional, penetapan status belum tentu diperlukan,” ujarnya lewat rilisnya, Selasa (2/12/2025).
Lebih jauh, Arifki menilai bahwa komunikasi publik saat ini menjadi titik paling krusial.
Dia menyebut adanya ruang kosong dalam narasi pemerintah yang kemudian dimanfaatkan oposisi untuk membangun persepsi bahwa pemerintah lamban merespons bencana.
“Masalahnya bukan pada kerja teknis di lapangan—yang sudah besar dan masif—tetapi pada penjelasan yang tidak runtut kepada publik. Ketika narasi pemerintah tidak jelas, publik mudah mengira pemerintah abai,” katanya.
Oleh sebab itu, dia mendorong adanya satu komando dalam pengelolaan komunikasi krisis. Dia menilai pemerintah perlu menunjuk sosok atau unit khusus yang secara konsisten memberi pembaruan informasi, menjelaskan indikator penetapan status, serta menyampaikan langkah-langkah pemerintah pusat secara transparan.
Tanpa strategi tersebut, Arifki mengkhawatirkan kerja besar pemerintah akan kalah oleh framing.
“Ini ujian komunikasi krisis. Jika tidak ditangani dengan disiplin, kerja negara yang sebenarnya sangat besar justru tidak terlihat. Pemerintah harus menjaga narasi, agar publik memahami bahwa negara hadir sejak hari pertama,” tegasnya.
