Dari Kelas Digital ke Meja Tersangka Nasional 6 September 2025

Dari Kelas Digital ke Meja Tersangka
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 September 2025

Dari Kelas Digital ke Meja Tersangka
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
PENDIDIKAN
semestinya menjadi ruang paling steril dari kepentingan politik maupun rente korupsi. Namun, sejarah negeri ini berulang kali menunjukkan, sektor pendidikan kerap dijadikan ladang basah.
Mulai dari proyek buku, seragam, hingga pembangunan gedung sekolah, hampir selalu beririsan dengan praktik penyalahgunaan anggaran.
Ironis, karena yang dipertaruhkan bukan sekadar rupiah, melainkan masa depan bangsa.
Ketika pandemi Covid-19 memaksa ruang kelas berpindah ke layar, digitalisasi pendidikan menjadi jargon yang dielu-elukan.
Laptop, tablet, hingga akses internet digadang-gadang sebagai jalan pintas menuju kesetaraan.
Di tengah euforia itu, hadir program pengadaan Chromebook dengan nilai nyaris Rp 10 triliun. Program yang sejatinya bisa membuka akses belajar, kini berubah wajah: dari ruang kelas digital ke ruang sidang pengadilan.
Kejaksaan Agung pada 4 September 2025, menetapkan Nadiem Anwar Makarim, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sebagai tersangka. Ia ditahan di Rutan Salemba setelah tiga kali dipanggil penyidik.
 
Dugaan korupsi bermula dari pengadaan laptop Chromebook periode 2019–2022 yang nilainya fantastis: Rp 9,9 triliun.
Investigasi menemukan, sejak awal program ini sudah dipaksakan. Kajian internal Pustekkom pada 2019 menyebut Chromebook tak relevan di daerah dengan keterbatasan internet.
Namun, rekomendasi itu diabaikan. Pada 2020–2021, lahir regulasi yang justru mengunci spesifikasi ke sistem operasi Chrome OS. Alhasil, tender menjadi tidak terbuka.
Kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 1,98 triliun. Dari ruang kelas yang seharusnya melahirkan generasi melek digital, kini tersisa berita utama: seorang menteri muda, simbol inovasi, duduk di kursi tersangka.
Kasus ini menohok langsung ke jantung integritas. Nadiem dikenal publik sebagai sosok dengan reputasi bersih, pendiri unicorn yang sukses, dan menteri yang membawa jargon “Merdeka Belajar”. Namun, justru di tangannya, proyek pendidikan berbalik arah.
Integritas dalam jabatan publik tidak berhenti pada niat baik. Ia diuji oleh keputusan, kebijakan, dan eksekusi anggaran.
Dalam hukum pidana korupsi, penyalahgunaan kewenangan bisa menjerat tanpa harus ada bukti uang mengalir ke kantong pribadi.
Itu sebabnya, pasal yang disangkakan tidak hanya menyasar perbuatan memperkaya diri, tetapi juga tindakan yang merugikan negara karena kebijakan yang menyimpang.
Pembelaan bahwa program berjalan dan lebih dari 1 juta Chromebook telah didistribusikan ke 77.000 sekolah (97 persen dari target) tak serta-merta menghapus pertanggungjawaban.
Pertanyaannya: apakah program itu efektif, tepat guna, dan sesuai regulasi? Jika tidak, maka distribusi hanyalah legitimasi semu di atas kerugian nyata.
Secara hukum, Nadiem dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Tak hanya itu, penyidik Kejagung menilai pengadaan Chromebook melanggar Perpres No. 123 Tahun 2020, Perpres No. 16 Tahun 2018 jo. No. 12 Tahun 2021, serta Peraturan LKPP No. 7 Tahun 2018 jo. No. 11 Tahun 2021.
Semua aturan itu mengamanatkan transparansi, akuntabilitas, dan persaingan sehat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Ketika seorang menteri mengarahkan pengadaan pada satu produk tertentu, tanpa dasar teknis yang objektif, itu bukan lagi inovasi, melainkan intervensi yang membuka jalan bagi korupsi.
 
Di titik ini, hukum hadir bukan sekadar sebagai alat represif, melainkan pengingat bahwa kekuasaan harus dibatasi oleh norma.
Kasus ini juga memiliki resonansi politik. Nadiem adalah figur muda yang dianggap simbol transformasi, bahkan sering dipuji sebagai representasi generasi baru dalam birokrasi.
Kini, penetapannya sebagai tersangka menimbulkan luka simbolis: harapan publik pada wajah baru politik runtuh di hadapan praktik lama yang tak berubah.
Dari sisi politik hukum, kasus ini memperlihatkan bagaimana kebijakan pendidikan rentan dipolitisasi.
Digitalisasi pendidikan yang seharusnya berorientasi pada kepentingan siswa, berubah menjadi arena kepentingan vendor dan perusahaan teknologi.
Ketika pertemuan dengan raksasa global seperti Google dijadikan pijakan kebijakan, publik bertanya: di manakah kedaulatan negara dalam menentukan prioritas pendidikan?
Tak kalah penting adalah dimensi kepercayaan publik. Pendidikan adalah sektor yang paling dekat dengan rakyat, menyentuh jutaan keluarga di seluruh Indonesia. Korupsi di sektor ini melahirkan rasa dikhianati yang dalam.
Bagi orangtua murid, laptop seharusnya menjadi jendela belajar anak-anak. Namun, ketika jendela itu retak oleh kepentingan, maka yang masuk bukan cahaya pengetahuan, melainkan gelapnya korupsi.
 
Ledakan kekecewaan bisa muncul bukan hanya karena uang negara yang raib, tetapi juga karena harapan yang dipatahkan.
Reaksi publik pun beragam: ada yang kaget, ada pula yang sinis. Sebagian melihat ini sebagai bukti bahwa siapa pun bisa tergelincir oleh kekuasaan, sekalipun ia datang dengan reputasi bersih.
Kejagung telah memeriksa lebih dari 120 saksi dan 4 saksi ahli untuk menguatkan penyidikan. Selain Nadiem, sebelumnya sudah ada empat tersangka lain dari kalangan pejabat Kemendikbudristek dan staf khusus.
Penggeledahan dilakukan di kantor Kemendikbudristek, apartemen stafsus, hingga kantor perusahaan swasta yang disebut-sebut memiliki keterkaitan.
Artinya, perkara ini bukan hanya soal satu nama, melainkan soal jaringan kebijakan, pejabat, dan vendor yang bersama-sama merancang proyek. Kata kunci dalam pasal tipikor, “permufakatan jahat”, menemukan relevansinya.
Kasus ini mengajarkan bahwa korupsi bukan hanya soal amplop di bawah meja, tetapi juga kebijakan yang menyesatkan.
Nadiem mungkin membela diri dengan integritas personalnya. Namun, hukum publik tidak mengukur integritas dari pengakuan, melainkan dari bukti dan dampak kebijakan.
Dari kelas digital yang menjanjikan kesetaraan, kini lahir ironi: seorang menteri harus mempertanggungjawabkan kebijakan di meja tersangka.
Sejarah politik Indonesia kembali mencatat, bahwa idealisme muda bisa terjerembab jika tak dikawal etika, hukum, dan akuntabilitas.
Dari kelas digital ke meja tersangka, perjalanan ini bukan hanya kisah jatuhnya seorang menteri. Ia adalah cermin rapuhnya tata kelola, ketika kebijakan pendidikan tunduk pada logika bisnis dan kepentingan.
Bagi bangsa ini, pelajaran terpenting bukanlah teknologi apa yang dipakai, melainkan nilai apa yang dijaga: kejujuran, integritas, dan keberpihakan pada masa depan anak-anak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.