Jakarta: Ketika berbicara tentang kebiasaan modern yang memengaruhi kesehatan mental dan kognitif, istilah “brain rot” atau “kerusakan otak” sering muncul.
Istilah ini merujuk pada penurunan fungsi mental seperti fokus, memori, dan kemampuan berpikir kritis akibat konsumsi digital yang berlebihan. Namun, apakah fenomena ini benar-benar ada?
Apa Itu Brain Rot?
Brain rot adalah kondisi yang sering dideskripsikan sebagai kabut mental (mental fog), kelelahan kognitif, hingga penurunan motivasi akibat overstimulasi dari teknologi.
Aktivitas seperti doomscrolling, zombie scrolling, dan kecanduan media sosial dianggap sebagai pemicu utama. Meskipun belum diakui secara medis, konsep ini mendapat perhatian luas di tengah meningkatnya waktu layar di era digital.
Namun, menurut Dr. Poppy Watson dari Sekolah Psikologi UNSW, belum ada bukti kausal yang kuat antara konsumsi digital berlebihan dan penurunan fungsi kognitif.
Faktor-faktor lain seperti status sosial-ekonomi, pendidikan, dan pola makan juga memengaruhi kesehatan otak secara signifikan.
Sejarah dan Relevansi Generasi dalam Brain Rot
“Brain rot” bukan istilah baru. Di abad ke-19, catur pernah dianggap sebagai aktivitas “membusukan” otak karena dianggap membuang waktu dan tidak produktif.
Pada era televisi hitam putih, banyak orang tua percaya bahwa menonton TV terlalu lama bisa “merusak otak.” Kini, di era digital, media sosial menjadi kambing hitam.
Pada 2024, “brain rot” bahkan dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year. Peningkatan penggunaan istilah ini sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024
Istilah ini pertama kali muncul di buku Henry David Thoreau tahun 1854, yang mengkritik kecenderungan masyarakat menyederhanakan ide kompleks menjadi sesuatu yang dangkal.
Ironisnya, Gen Z dan Gen Alpha kerap menggunakan istilah ini secara humoris untuk menggambarkan kebiasaan mereka mengonsumsi meme atau video viral.
Catur: Manfaat dan Kontroversi
Aktivitas seperti bermain catur menunjukkan efek yang bertolak belakang dengan konsep brain rot. Catur merangsang otak untuk berpikir strategis, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, dan memperkuat daya ingat.
Namun, kritik terhadap catur pernah muncul pada abad ke-19, di mana Scientific American menggambarkannya sebagai aktivitas yang “tidak produktif” dan tidak memberikan manfaat fisik.
Menariknya, beberapa pemain catur tingkat tinggi melaporkan kesulitan untuk “melepaskan” pola pikir permainan setelah sesi panjang.
Fenomena ini mirip dengan “Tetris Effect,” di mana otak terus memvisualisasikan pola-pola permainan bahkan saat istirahat.
Kritik penelitian abad-19 menyebutkan bahwa fokus berlebihan pada catur tidak selalu membantu dalam aspek kehidupan lainnya.
Namun, perubahan cara pandang terhadap catur menunjukkan bahwa aktivitas yang dulu dianggap merugikan bisa berubah menjadi sesuatu yang dihormati.
Kini, fokus tajam dan strategi yang diasah lewat catur sering dianggap sebagai kemampuan “kelas Jedi” untuk mengontrol perhatian.
Televisi: Seni atau Perusak Otak?
Penelitian dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health menunjukkan bahwa menonton televisi dalam durasi yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan volume grey matter di otak.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua jenis tontonan memiliki dampak yang sama. Serial dengan cerita kompleks seperti The Wire atau Succession justru dapat merangsang kemampuan analitis dan emosi.
Sebaliknya, tontonan tanpa tujuan yang hanya mengandalkan hiburan dangkal dapat menurunkan fungsi kognitif.
Stuart Heritage dari the Guardian bahkan menyoroti ironi bahwa konsumsi televisi yang berlebihan dapat membuat seseorang kehilangan memori penting dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, televisi juga tidak selalu memberikan manfaat lintas domain.
Misalnya, kemampuan analitis yang diasah saat menonton serial tertentu mungkin tidak berkontribusi pada bidang lainnya.
Media Sosial: Antara Manfaat dan Bahaya
Media sosial sering menjadi kambing hitam dalam diskusi tentang brain rot. Platform seperti Instagram dan TikTok dirancang untuk meningkatkan dopamin dengan notifikasi, warna cerah, dan konten pendek yang adiktif.
Studi longitudinal di Australia menemukan adanya korelasi antara waktu layar yang tinggi dengan peningkatan depresi dan kecemasan pada remaja, meskipun hubungan sebab-akibatnya masih diperdebatkan.
Dr. Sophie Li dari Black Dog Institute menambahkan bahwa penelitian terbaru tidak menemukan bukti signifikan bahwa konsumsi media sosial dalam jangka panjang secara langsung menyebabkan depresi atau kecemasan.
Sebaliknya, hubungan ini sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti kondisi kesehatan mental individu sebelum penggunaan media sosial.
Dr. Watson juga mencatat bahwa algoritma di media sosial berkontribusi pada pengalaman digital yang sangat terpersonalisasi.
Hal ini dapat memengaruhi cara kita memandang dunia dan menyebabkan informasi yang kita terima menjadi bias, yang menimbulkan kekhawatiran baru tentang kesehatan mental.
Kesimpulan: Bijak Memilih Aktivitas
Apakah brain rot nyata? Fenomena ini lebih kompleks daripada sekadar efek dari satu aktivitas tertentu.
Menonton televisi secara moderat, bermain catur, atau menggunakan media sosial dengan bijak tidak serta-merta menyebabkan kerusakan otak. Sebaliknya, pola penggunaan yang tidak sehat atau berlebihan adalah akar masalahnya.
Untuk menjaga kesehatan mental dan kognitif, penting untuk membatasi waktu layar harian, memilih konten yang edukatif dan inspiratif, menyeimbangkan aktivitas digital dengan hobi offline seperti olahraga, membaca, atau berkumpul dengan keluarga.
Baca Juga:
Biar Bisnis Makin Moncer, Perusahaan Perlu Manfaatkan Teknologi Pintar
Jakarta: Ketika berbicara tentang kebiasaan modern yang memengaruhi kesehatan mental dan kognitif, istilah “brain rot” atau “kerusakan otak” sering muncul.
Istilah ini merujuk pada penurunan fungsi mental seperti fokus, memori, dan kemampuan berpikir kritis akibat konsumsi digital yang berlebihan. Namun, apakah fenomena ini benar-benar ada?
Apa Itu Brain Rot?
Brain rot adalah kondisi yang sering dideskripsikan sebagai kabut mental (mental fog), kelelahan kognitif, hingga penurunan motivasi akibat overstimulasi dari teknologi.
Aktivitas seperti doomscrolling, zombie scrolling, dan kecanduan media sosial dianggap sebagai pemicu utama. Meskipun belum diakui secara medis, konsep ini mendapat perhatian luas di tengah meningkatnya waktu layar di era digital.
Namun, menurut Dr. Poppy Watson dari Sekolah Psikologi UNSW, belum ada bukti kausal yang kuat antara konsumsi digital berlebihan dan penurunan fungsi kognitif.
Faktor-faktor lain seperti status sosial-ekonomi, pendidikan, dan pola makan juga memengaruhi kesehatan otak secara signifikan.
Sejarah dan Relevansi Generasi dalam Brain Rot
“Brain rot” bukan istilah baru. Di abad ke-19, catur pernah dianggap sebagai aktivitas “membusukan” otak karena dianggap membuang waktu dan tidak produktif.
Pada era televisi hitam putih, banyak orang tua percaya bahwa menonton TV terlalu lama bisa “merusak otak.” Kini, di era digital, media sosial menjadi kambing hitam.
Pada 2024, “brain rot” bahkan dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year. Peningkatan penggunaan istilah ini sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024
Istilah ini pertama kali muncul di buku Henry David Thoreau tahun 1854, yang mengkritik kecenderungan masyarakat menyederhanakan ide kompleks menjadi sesuatu yang dangkal.
Ironisnya, Gen Z dan Gen Alpha kerap menggunakan istilah ini secara humoris untuk menggambarkan kebiasaan mereka mengonsumsi meme atau video viral.
Catur: Manfaat dan Kontroversi
Aktivitas seperti bermain catur menunjukkan efek yang bertolak belakang dengan konsep brain rot. Catur merangsang otak untuk berpikir strategis, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, dan memperkuat daya ingat.
Namun, kritik terhadap catur pernah muncul pada abad ke-19, di mana Scientific American menggambarkannya sebagai aktivitas yang “tidak produktif” dan tidak memberikan manfaat fisik.
Menariknya, beberapa pemain catur tingkat tinggi melaporkan kesulitan untuk “melepaskan” pola pikir permainan setelah sesi panjang.
Fenomena ini mirip dengan “Tetris Effect,” di mana otak terus memvisualisasikan pola-pola permainan bahkan saat istirahat.
Kritik penelitian abad-19 menyebutkan bahwa fokus berlebihan pada catur tidak selalu membantu dalam aspek kehidupan lainnya.
Namun, perubahan cara pandang terhadap catur menunjukkan bahwa aktivitas yang dulu dianggap merugikan bisa berubah menjadi sesuatu yang dihormati.
Kini, fokus tajam dan strategi yang diasah lewat catur sering dianggap sebagai kemampuan “kelas Jedi” untuk mengontrol perhatian.
Televisi: Seni atau Perusak Otak?
Penelitian dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health menunjukkan bahwa menonton televisi dalam durasi yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan volume grey matter di otak.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua jenis tontonan memiliki dampak yang sama. Serial dengan cerita kompleks seperti The Wire atau Succession justru dapat merangsang kemampuan analitis dan emosi.
Sebaliknya, tontonan tanpa tujuan yang hanya mengandalkan hiburan dangkal dapat menurunkan fungsi kognitif.
Stuart Heritage dari the Guardian bahkan menyoroti ironi bahwa konsumsi televisi yang berlebihan dapat membuat seseorang kehilangan memori penting dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, televisi juga tidak selalu memberikan manfaat lintas domain.
Misalnya, kemampuan analitis yang diasah saat menonton serial tertentu mungkin tidak berkontribusi pada bidang lainnya.
Media Sosial: Antara Manfaat dan Bahaya
Media sosial sering menjadi kambing hitam dalam diskusi tentang brain rot. Platform seperti Instagram dan TikTok dirancang untuk meningkatkan dopamin dengan notifikasi, warna cerah, dan konten pendek yang adiktif.
Studi longitudinal di Australia menemukan adanya korelasi antara waktu layar yang tinggi dengan peningkatan depresi dan kecemasan pada remaja, meskipun hubungan sebab-akibatnya masih diperdebatkan.
Dr. Sophie Li dari Black Dog Institute menambahkan bahwa penelitian terbaru tidak menemukan bukti signifikan bahwa konsumsi media sosial dalam jangka panjang secara langsung menyebabkan depresi atau kecemasan.
Sebaliknya, hubungan ini sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti kondisi kesehatan mental individu sebelum penggunaan media sosial.
Dr. Watson juga mencatat bahwa algoritma di media sosial berkontribusi pada pengalaman digital yang sangat terpersonalisasi.
Hal ini dapat memengaruhi cara kita memandang dunia dan menyebabkan informasi yang kita terima menjadi bias, yang menimbulkan kekhawatiran baru tentang kesehatan mental.
Kesimpulan: Bijak Memilih Aktivitas
Apakah brain rot nyata? Fenomena ini lebih kompleks daripada sekadar efek dari satu aktivitas tertentu.
Menonton televisi secara moderat, bermain catur, atau menggunakan media sosial dengan bijak tidak serta-merta menyebabkan kerusakan otak. Sebaliknya, pola penggunaan yang tidak sehat atau berlebihan adalah akar masalahnya.
Untuk menjaga kesehatan mental dan kognitif, penting untuk membatasi waktu layar harian, memilih konten yang edukatif dan inspiratif, menyeimbangkan aktivitas digital dengan hobi offline seperti olahraga, membaca, atau berkumpul dengan keluarga.
Baca Juga:
Biar Bisnis Makin Moncer, Perusahaan Perlu Manfaatkan Teknologi Pintar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(WAN)