Jakarta: Ekonom dan pakar hukum mengkritisi dampak serius yang ditimbulkan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) serta wacana kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes). Hal ini menyusul adanya ancaman perlambatan pertumbuhan perekonomian nasional hingga indikasi intervensi asing dalam penyusunan regulasi.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, berdasarkan hasil kajian Indef, dampak ekonomi yang hilang atas rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek dapat mencapai Rp308 triliun.
Menurut Andry, rencana aturan tersebut juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa merek dan indetitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal di pasaran.
“Produsen rokok ilegal tidak perlu lagi repot memikirkan desain kemasan yang kompleks. Dengan aturan kemasan tanpa identitas merek, mereka bisa langsung memasukkan produknya ke pasar, dan pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan serta identifikasi produk,” ujar Andry dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu, 9 November 2024.
Selain itu, Andry mengungkapkan dari sisi penerimaan negara, ada potensi hilangnya Rp160,6 triliun atau sekitar tujuh persen dari penerimaan pajak jika aturan itu disahkan, dan membuat target penerimaan negara sulit tercapai. Jika regulasi ini diterapkan, target penerimaan negara sebesar Rp218,7 triliun untuk tahun ini kemungkinan besar tidak akan tercapai.
Pasalnya, lanjut Andry, industri hasil tembakau merupakan salah satu penyumbang signifikan bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sebelum pandemi covid-19, industri ini menyumbang hingga 6,9 persen terhadap PDB, namun angka ini terus menurun setiap tahunnya.
Lebih dari itu, ia mengingatkan industri hasil tembakau adalah sektor yang besar dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data Indef, sekitar 2,29 juta orang atau sekitar 1,6 persen dari total pekerja akan terdampak langsung oleh regulasi ini.
“Pada 2019, industri ini menyerap 32 persen dari total pekerja di sektor manufaktur. Namun, tekanan regulasi terus membuat para pekerja di sektor ini rentan terdampak,” jelasnya.
Bertentangan dengan kedaulatan ekonomi
Di sisi lain, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Hikmahanto Juwana menilai Rancangan Permenkes yang mengatur penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, bertentangan dengan kedaulatan ekonomi Indonesia dan merupakan ancaman bagi industri hasil tembakau nasional.
Ia menjelaskan, penerapan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek sejatinya mirip dengan kebijakan yang diterapkan Australia pada 2012. Saat itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang menolak kebijakan tersebut.
“Sekarang kita justru ingin menerapkan apa yang pernah kita lawan. Ini sangat membingungkan,” tutur dia.
Hikmahanto menekankan Indonesia, sebagai negara penghasil tembakau, seharusnya tidak mengikuti regulasi yang ditentukan oleh negara lain, terutama yang bersumber dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pasalnya, kebijakan ini dapat mengganggu pendapatan negara yang berasal dari keseluruhan kegiatan ekonomi mata rantai sektor tembakau, termasuk devisa ekspor.
“Kita adalah negara penghasil tembakau, tetapi justru kebijakan ini bisa membuat produk kita terpinggirkan di pasar internasional,” tambahnya.
Ia menegaskan pemerintah perlu menjaga kedaulatan negara serta memperhatikan kepentingan pelaku usaha domestik yang berjuang untuk bersaing di pasar global. Salah satu poin penting yang disoroti Hikmahanto, kebijakan ini dapat merugikan pelaku usaha yang ingin membedakan produk mereka.
“Setiap pelaku usaha berhak untuk bersaing dengan cara menonjolkan identitas merek mereka. Jika identitas itu dihilangkan, bagaimana mereka dapat bersaing?” imbuh dia.
Lebih jauh, Hikmahanto mengungkapkan ada urgensi untuk mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan ini terhadap masyarakat. “Jika regulasi ini diterapkan, maka perokok malah akan beralih ke produk ilegal yang tidak terkontrol,” paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(HUS)