Curhat Putra Mahkota Keraton Solo, Beri Tagar Indonesia Gelap: Nyesel Gabung Republik

Curhat Putra Mahkota Keraton Solo, Beri Tagar Indonesia Gelap: Nyesel Gabung Republik

TRIBUNJATIM.COM – Postingan kontroversial diunggah oleh KGPAA Hamangkunegoro, Putra Mahkota Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo. 

Pada postingan itu bertuliskan “Nyesel gabung Republik” hingga akhirnya tangkapan layar postingan itu viral di media sosial.

Dikutip dari Kompas.com, postingan itu ditulis di Instagram story pribadinya, @kgpaa.hamengkunegoro.

Tak cukup sampai di situ,  KGPAA Hamangkunegoro juga mengunggah sebuah kalimat sindiran di sosial media serupa.

 “Percuma Republik Kalau Cuma Untuk Membohongi,” demikian isi tulisan tersebut.

KGPAA Hamangkunegoro juga menambahkan tagar #IndonesiaGelap. 

Unggahan ini pun sontak mengundang perhatian publik.

Hingga kini, belum diketahui secara pasti alasan di balik kritik tajam yang dilontarkan KGPAA Hamangkunegoro. 

Berbagai spekulasi pun muncul di media sosial terkait latar belakang unggahan tersebut.

Kini, unggahan tersebut telah lenyap karena dihapus oleh pemilik akun.

Pihak Keraton Solo pun sampai hari ini belum memberikan keterangan terkait maksud di balik unggahan KGPAA Hamangkunegoro itu.

Lantas apakah maksud unggahan tersebut sebagai bentuk kritik atas kebijakan pemerintah ataukah soal anggaran?

Dana Pemeliharaan Keraton Solo

Jauh sebelum KGPAA Hamangkunegoro mengunggah kalimat kritikan ini, adik raja Keraton Surakarta Hadiningrat SISKS Pakubuwana (PB) XIII GKR Wandansari Koesmurtiyah alias Gusti Moeng, pernah membicarakan soal dana pemeliharaan Keraton Solo.

Kepada TribunSolo.com, Moeng menerangkan sebenarnya pihak keraton tiap tahunnya menerima dana subsidi dari pemerintah daerah untuk pemeliharaan.

Tokoh penting Lembaga Dewan Adat (LDA) ini mengaku bahwa pemerintah hanya memberikan subsidi dana pemeliharaan ke Keraton Solo sebesar Rp 1,3 miliar.

“Sebetulnya keraton mendapat subsidi, tapi sejak kita keluar ya diterima oleh Sinuhun. Itu dari Pemprov setelah ada UU Otonomi Daerah tahun 2002 di DPR RI,” ujar Moeng, Jumat (9/8/2024).

Padahal, untuk membayar gaji abdi dalem dalam setahun maupun menggelar upacara adat saja, Keraton Solo harus mengeluarkan biaya sampai miliaran rupiah.

Moeng mengungkapkan dana yang diberikan pemerintah kepada Keraton Solo  tidak cukup untuk bisa memelihara keseluruhan yang ada di dalam keraton baik bangunan sampai gelaran upacara adat.

Ia mengatakan perlu dana yang cukup besar untuk merawat salah satu warisan dari dinasti Mataram Islam tersebut.

Ia mencontohkan pada saat masih mengurusi dana subsidi dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) beberapa tahun lalu.

Dana sebesar Rp 1,3 miliar per tahun saja diakui Moeng hanya bisa digunakan untuk dua sektor pemeliharaan keraton.

Untuk gaji abdi dalem diakui Moeng bisa menghabiskan Rp 900 juta per tahun.

Selain itu, untuk penyelenggaraan 8 upacara adat penting Keraton Kasunanan Solo per tahunnya bisa menghabiskan dana sebesar Rp 400 juta.

“Tidak cukup, karena yang banyak itu adalah untuk gaji abdi dalem. Waktu saya masih di dalam, dalam proposal terakhir yang saya lihat itu Rp 900 juta untuk gaji abdi dalem dalam setahun. Kasihan kan abdi dalem ada 514 orang.”

“Terus yang Rp 400 juta untuk menggelar 8 upacara adat per tahun ada 8 upacara,” terang Moeng.

Moeng menjelaskan, bila menilik pada aturan yang tertera dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 29 tahun 1964, Keraton Solo berhak mendapatkan dana pemeliharaan dari pemerintah.

“Padahal ada Perpres nomor 29 Tahun 1964 itu setelah kita bergabung dengan Republik, tertulis semua kebutuhan keraton dipenuhi oleh negara. Kalau negara itu harusnya pemerintah menaati itu,” sebut Moeng.

Namun dalam perjalanannya, perhatian terhadap Keraton Solo diakui Moeng seperti tergerus.

Bahkan hak-hak kerajaan yang tercantum dalam konstitusi cenderung diabaikan oleh pemerintah.

“Terus dipasrahkan ke Pemerintah Provinsi, malah dimiskinkan bahkan pernah ditaruh di Dinas Sosial.”

“Sebenarnya saya hanya menitipkan aspirasi kepada pemerintah agar tahu betul tugas kewajibannya terhadap kita (keraton). Jangan kita dianggap membebani negara, benalu. Itu sangat menyakitkan,” pungkas Moeng.

Tagar Indonesia Gelap ramai di media sosial

Sebelumnya, tagar Indonesia Gelap trending di media sosial.

Hal ini membuat banyak pihak ikut mengomentari.

Tagar Indonesia Gelap ramai digunakan di media sosial.

Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan pun buka suara.

Ia menepis anggapan masyarakat yang beredar di media sosial melalui tagar Indonesia Gelap (#IndonesiaGelap).

“Kalau ada yang bilang itu Indonesia gelap, yang gelap kau bukan Indonesia. Jadi kita jangan terus mengeklaim sana-sini,” ujarnya dalam acara The Economic Insights 2025 di Jakarta, Rabu (19/2/2025), dikutip dari Tribun Bogor.

Menurut dia, kondisi Indonesia masih cukup baik meskipun dia mengakui sedang terjadi berbagai permasalahan.

Namun, permasalahan ini banyak dialami oleh negara lain selain Indonesia.

Salah satunya terkait isu kurangnya lapangan kerja.

Luhut bilang, masalah tersebut juga dialami negara lain seperti Amerika Serikat (AS).

“Ada orang bilang wah di sini lapangan kerja kurang, di mana yang lapangan kerja enggak kurang? Di Amerika juga bermasalah, di mana saja bermasalah,” ucapnya.

Dia pun membeberkan pemerintah tidak tinggal diam ketika terjadi masalah kekurangan lapangan kerja.

Pemerintah telah memberdayakan 300 orang generasi muda yang bekerja di Perum Peruri untuk mengelola GovTech.

Selain itu, sebut Luhut, Indonesia justru beruntung karena memiliki pasar yang besar dengan jumlah penduduk yang mencapai 282 juta jiwa per Semester I 2024.

INDONESIA GELAP – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menepis anggapan masyarakat yang beredar di media sosial melalui tagar Indonesia Gelap (#IndonesiaGelap). (Kompas.com)

Diprediksi pada 2030 jumlah ini akan bertambah menjadi 300 juta jiwa.

“Jadi kita harus lihat ini. Kita sebagai orang Indonesia harus bangga juga bahwa we are doing right gitu, we are doing so good so far,” tuturnya.

Sebagai informasi, #IndonesiaGelap terus menggema di media sosial X sejak awal Februari kemarin dan menjadi sorotan utama warganet.

Tagar ini mencerminkan kegelisahan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai bermasalah.

Kemunculan #IndonesiaGelap bermula dari kritik warganet terhadap berbagai kebijakan yang dianggap merugikan rakyat.

Beberapa di antaranya adalah aturan baru terkait penjualan elpiji 3 kg yang menyebabkan kelangkaan gas, efisiensi anggaran yang berdampak pada gelombang PHK, hingga pemangkasan tunjangan bagi dosen dan tenaga pendidik.

Situasi ini memicu gelombang protes, yang berpuncak pada aksi demonstrasi besar-besaran mahasiswa di berbagai daerah pada Senin, 17 Februari 2025.

Sebelumnya, media sosial juga diramaikan dengan tagar Kabur Aja Dulu.

Adapun tagar Kabur Aja Dulu ini dianggap sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan keadilan di dalam negeri.

Kondisi tersebut diduga karena adanya sejumlah kebijakan pemerintah belakangan ini yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat.

Tren tagar Kabur Aja Dulu sendiri dianggap sebagai bentuk keinginan masyarakat untuk meninggalkan Indonesia demi bekerja atau melanjutkan studi di luar negeri.

Awalnya, tagar ini beredar masif di media sosial X dan banyak warganet menggunakan “#KaburAjaDulu” dalam cuitannya.

Tagar tersebut disertai dengan ajakan untuk para anak muda untuk mengambil pendidikan, bekerja, hingga sekadar tinggal di luar negeri.

Tren Kabur Aja Dulu kemudian dikaitkan dengan sistem pendidikan di Tanah Air yang memiliki biaya mahal, rendahnya ketersediaan lapangan kerja, dan upah per bulan yang rendah.

Bahkan, menggunakan tagar tersebut warganet juga mengunggah informasi terkait kesempatan studi atau bekerja di luar negeri untuk “kabur” dari Indonesia.

Banyak warganet berbagi informasi seputar lowongan kerja, beasiswa, les bahasa, serta pengalaman berkarier dan kisah hidup di luar negeri dengan menggunakan tagar Kabur Aja Dulu.

Sejumlah ahli juga memberikan komentar terkait tren #KaburAjaDulu yang ramai di media sosial belakangan ini.

Salah satunya dari Sosiolog UIN Walisongo Semarang, Nur Hasyim menyebut, tren Kabur Aja Dulu merupakan ekspresi kemarahan, keputusasaan, dan protes yang disampaikan publik melalui media sosial kepada pemerintah.

Hasyim menilai, kebijakan yang diambil pemerintah belakangan tidak berpihak pada masyarakat.

Termasuk kebijakan yang menginstruksikan efisiensi anggaran yang berdampak pada sejumlah sektor penting, seperti pendidikan, energi, hingga penanganan bencana dan krisis iklim.

Hal ini kemudian membuat generasi muda kehilangan harapan untuk mencari penghidupan di Tanah Air, Indonesia.

Sejalan dengan itu, Sosiolog di Universitas Gadjah Mada (UGM) Oki Rahadianto Sutopo mengatakan, kemunculan tagar KaburAjaDulu adalah bentuk refleksivitas atas kesenjangan global yang terjadi dewasa ini.

Menurutnya, anak muda mulai sadar mengenai kesenjangan global, terutama terkait kualitas hidup di berbagai negara yang bisa diketahui berkat kemajuan teknologi.

Kesenjangan global tersebut termasuk perbedaan jaminan kesehatan, kualitas pendidikan, kesempatan lapangan kerja, hingga kebebasan anak muda untuk berekspresi.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

Sebagian artikel ini telah tayang di TribunSolo.com