Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Childfree dan Dampaknya ke Ekonomi

Childfree dan Dampaknya ke Ekonomi

Jakarta: Fenomena childfree, atau keputusan untuk tidak memiliki anak atas kesadaran sendiri, kembali jadi sorotan setelah aktris Ariel Tatum mengungkapkan alasannya memilih jalan tersebut.
 
Meskipun bukan hal baru di dunia, tren ini semakin marak di berbagai negara, termasuk Indonesia.
 
Di banyak negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, angka kelahiran yang terus menurun akibat keputusan pasangan untuk tidak punya anak mulai berdampak besar, termasuk dalam aspek ekonomi.
 
Tapi, apakah childfree benar-benar buruk? Atau justru ada sisi positifnya?
 

Childfree pilihan pribadi yang masih dianggap tabu di Indonesia
Merangkum laman Universitas Airlangga, di Indonesia memiliki anak masih dianggap sebagai bagian penting dalam kehidupan rumah tangga.
 
Ekonom dari Universitas Airlangga (UNAIR), Dyah Wulansari, seorang menjelaskan bahwa budaya Indonesia masih sangat mengakar dalam hal ini. Begitu pula dengan memiliki seorang anak.
 
“Kita ini bela-belain ya untuk punya anak. Kalau sulit, bahkan bela-belain pakai bayi tabung sampai ke luar negeri yang biayanya mahal,” ujar dia dikutip, Sabtu, 8 Februari 2025.
 
Karena itu, keputusan untuk tidak memiliki anak masih sering dianggap aneh atau tabu di tengah masyarakat.
 
Dampak childfree bagi perekonomian
 
Dari perspektif ekonomi, childfree ternyata punya dua sisi. Di satu sisi, keputusan ini bisa meningkatkan produktivitas kerja, terutama bagi perempuan.
 
Mereka tidak perlu cuti melahirkan atau mengurus anak, yang secara langsung menguntungkan perusahaan.
 
“Bagi pengusaha, ini tentu menguntungkan. Wanita yang tidak punya anak bisa bekerja tanpa harus mengambil cuti melahirkan,” ungkap dia.
 
Namun, di sisi lain, tren childfree juga berdampak negatif pada ekonomi jangka panjang. Jika angka kelahiran terus menurun, dalam beberapa dekade ke depan bisa terjadi krisis sumber daya manusia.
 

 
Negara dengan populasi menurun akan kesulitan memenuhi kebutuhan tenaga kerja, yang berujung pada kenaikan biaya tenaga kerja dan bergesernya industri ke otomatisasi mesin.
 
Jepang dan Korea Selatan adalah contoh nyata bagaimana rendahnya angka kelahiran bisa menimbulkan masalah serius. Kedua negara ini kini menawarkan insentif besar agar warganya mau memiliki anak, karena mereka menghadapi ancaman penurunan populasi yang drastis.
 
Ketika tenaga kerja semakin sedikit, perekonomian bisa terganggu. Sektor-sektor yang bergantung pada tenaga manusia, seperti manufaktur dan jasa, akan mengalami kekurangan SDM.
 
Akibatnya, harga tenaga kerja naik, dan banyak perusahaan mulai beralih ke penggunaan mesin untuk menghemat biaya operasional. 
Solusi untuk wanita yang ingin berkarier dan punya anak
Sebenarnya, ada banyak cara bagi perempuan untuk tetap mengejar karier sambil membesarkan anak. Beberapa solusinya adalah menggunakan layanan daycare, meminta bantuan keluarga, atau membangun lingkungan kerja yang lebih ramah ibu bekerja.
 
“Kalau ingin bahagia, tidak harus dengan tidak punya anak. Banyak alternatif lain, seperti hidup sehat, menjaga keseimbangan hidup, olahraga, dan makan teratur,” ungkap dia.
 
Keputusan untuk childfree adalah pilihan pribadi yang harus dihormati. Namun, dari sisi ekonomi dan demografi, tren ini juga membawa dampak besar bagi masa depan sebuah negara.
 
Dengan berbagai solusi yang tersedia, memiliki anak dan tetap mengejar impian karier bukanlah hal yang mustahil saat ini. Bagaimana menurut kamu?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

(ANN)

Merangkum Semua Peristiwa