Surabaya (beritajatim.com) – “Nak, sayang, air sudah mulai naik semata kaki, hujan masih deras sekali.” Pesan singkat itu menjadi chat terakhir yang diterima Catherine Sandrina Sitompul dari ibunya, sebelum banjir besar menenggelamkan rumah keluarganya di Aceh Utara, Pulau Sumatra.
Setelah itu, komunikasi terputus selama sepekan penuh. Di Surabaya, mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu hanya bisa menunggu dalam cemas.
Kabar buruk itu datang pada 3 Desember 2025 malam. Telepon ibunya masuk sekitar pukul 22.30 WIB dengan suara terisak. “Nak, rumah kita sudah tenggelam. Barang-barang semua hanyut.”
Catherine menangis tanpa mampu berkata apa-apa. Dari jarak ribuan kilometer, ia harus menerima kenyataan pahit. Rumah keluarganya hilang, terseret banjir.
Ibunya kemudian menceritakan detik-detik air menghantam rumah mereka. Pada Kamis, 27 November 2025, air meluap setelah hujan deras mengguyur wilayah itu hampir sepekan. Saat itu, sang ibu hampir tenggelam ketika menyelamatkan adik Catherine yang masih kecil.
Padahal, ibunya tak bisa berenang. Namun ia merelakan tubuhnya terbawa arus demi mengangkat anaknya ke tempat yang lebih tinggi agar tidak ikut terseret banjir.
Mereka hanya sempat menyelamatkan pakaian yang melekat di badan dan sebuah telepon genggam yang sudah basah.
Rumah tenggelam. Semua barang hanyut. Bahkan sepeda motor satu-satunya yang biasa digunakan ayah Catherine untuk bekerja ikut terbawa arus.
Hingga kini, keluarganya masih bertahan di pengungsian, dalam kondisi gelap tanpa listrik dan penerangan.
“Bagi saya ini bukan sekadar data atau angka bencana. Ini adalah kisah hidup saya, keluarga saya, dan teman-teman saya,” ujar Catherine di Unesa, Senin (8/12/2025).
Selama sepekan tanpa kabar, ia mengaku tak bisa fokus kuliah. Hari-harinya di Surabaya diisi dengan kecemasan, doa, dan bayangan terburuk tentang keluarganya di kampung halaman.
Kisah pilu juga datang dari Givo Al Thariq, mahasiswa Unesa asal Maninjau, Sumatra Barat. Wilayah tempat tinggalnya yang dikelilingi danau dan perbukitan selama ini lebih sering mengalami longsor kecil. Namun kali ini berbeda.
“Untuk pertama kalinya ada banjir lumpur dan longsor sekaligus. Sekitar danau lumpuh total, jalan tidak bisa dilewati kendaraan. Banyak kayu dari hutan ikut terbawa arus banjir,” tutur Givo.
Air sempat surut dan orang tuanya kembali ke rumah. Namun banjir kembali datang keesokan harinya. Meski kedua orang tuanya selamat tanpa luka, dampaknya tak kalah berat. Usaha dan mata pencaharian warga di sekitar danau lumpuh total.
Di tengah situasi itu, Unesa menyatakan ikut memberi perhatian kepada mahasiswa yang terdampak bencana. Unesa membuka ruang pendampingan dan bantuan bagi mahasiswa dari wilayah terdampak banjir dan longsor di Sumatra.
Catherine sendiri mengaku bersyukur atas kepedulian tersebut. Namun di balik rasa terima kasih itu, ia tetap harus menghadapi kenyataan bahwa rumah yang menjadi tempat pulang kini tinggal kenangan.
“Saya sempat putus asa. Rasanya hidup saya ikut hanyut bersama banjir itu,” katanya lirih.
Bagi mahasiswa perantauan seperti Catherine dan Givo, bencana di kampung halaman bukan hanya kehilangan materi. Ia adalah luka batin yang harus ditanggung diam-diam di tengah tuntutan akademik.
Di ruang kelas mereka dituntut tetap berpikir jernih. Meski di balik itu, ada kecemasan tentang keluarga, rumah, dan masa depan yang kini tak lagi pasti.
Banjir dan longsor di Sumatra itu telah merobek banyak kehidupan. Ada air mata yang jatuh, ada doa-doa yang dipanjatkan, berharap air segera surut, dan hidup bisa perlahan kembali dirajut dari puing-puing yang tersisa. [ipl/but]
