Cerita Rino Pilih Jualan Koran di Lampu Merah daripada Mengemis Megapolitan 4 Desember 2025

Cerita Rino Pilih Jualan Koran di Lampu Merah daripada Mengemis
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Desember 2025

Cerita Rino Pilih Jualan Koran di Lampu Merah daripada Mengemis
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pria bernama Rino (40) menjual koran di lampu merah perempatan Tugu Tani, Jakarta Pusat.
Saat pengendara berhenti, ia langsung bangkit dari trotoar, menggenggam beberapa eksemplar
koran
yang mulai lecek di tangannya.
Langkahnya cepat. Tubuhnya melenggang di antara barisan kendaraan.
Ia mengetuk kaca mobil yang sedikit terbuka, lalu merentangkan koran ke arah pengendara memperlihatkan tajuk utama yang terpampang besar di halaman depan.
Sesekali ia mencoba mendekati pengendara motor yang berhenti di garis depan.
Namun, sebagian besar pengendara hanya merespons dengan gelengan kepala, isyarat tangan menolak, atau memilih memalingkan wajah ke layar ponsel.
Ketika lampu kembali hijau, suara klakson dan deru mesin kembali menguasai udara, ia mundur pelan ke tepi jalan.
Ia membungkuk, merapikan kembali dagangannya yang terlipat-lipat, lalu menunggu siklus berikutnya.
Selama tiga jam
Kompas.com
melakukan pengamatan, Rabu (3/12/2025), tak satu pun koran yang dijual
Rino
laku terjual.
Masih duduk di trotoar, Rino menatap jauh ke arah gedung-gedung tinggi yang berdiri megah di sekitar kawasan
Tugu Tani
.
Hujan yang sempat turun sebelumnya membuat permukaan jalan masih basah.
Kakinya yang telanjang tampak kedinginan, sesekali ia menggerakkannya untuk mengusir gemetar.
Ia mengenakan kaus coklat kusam yang robek di beberapa bagian dan celana selutut yang warnanya hampir pudar.
“Saya dari zaman Presiden Megawati sudah jualan di sini. Kurang lebih sudah 20 tahun,” ujar Rino saat dihampiri Kompas.com tersenyum samar.
Selama dua dekade itu, ia tidak pernah berpindah lokasi. Tugu Tani adalah tempatnya bertahan hidup.
Dulu, katanya, ia bisa menjual puluhan eksemplar koran hanya dalam beberapa jam. Pagi hari adalah waktu panen.
Sopir kantor, pekerja swasta, hingga pegawai negeri, hampir semua mengambil satu eksemplar saat melintas. Namun sekarang situasinya terbalik.
“Sekarang 10 koran saja sehari susah laku,” tutur Rino lirih.
Rino tidak memiliki agen tetap. Tiap pagi ia mengumpulkan modal seadanya untuk membeli koran dari berbagai penerbit.
“Biasanya saya beli paling 20 eksemplar. Kadang cuma punya uang Rp 20 ribu,” ucapnya.
Untuk setiap koran Kompas yang ia ambil, modalnya kini Rp 8.000 dengan harga jual Rp 12.000, dan Rino hanya mendapatkan keuntungan sekitar Rp 4.000 per eksemplar.
Jika tidak laku, koran itu dibawa pulang. Sebagian ia kumpulkan hingga setengah bulan lalu dijual kiloan tentu dengan harga jauh di bawah modal.
Rino tertawa kecil saat ditanya apakah ia pernah mencoba pekerjaan lain.
“Pernah tiga tahun jaga toko. Tapi saya enggak sanggup, soalnya penghasilannya nggak harian,” katanya.
Bagi Rino, pekerjaan harus memberikan makan hari itu juga. Jika tidak, ia tak bisa membawa apa pun untuk keluarganya.
Ia tinggal di wilayah Pasar Gembong, Jakarta Pusat. Ia memiliki tiga orang anak yang masih membutuhkan biaya sehari-hari.
Namun ia tak menjelaskan lebih jauh tentang kondisi keluarganya.
Dalam perbincangan, Rino mengatakan bahwa ia berusaha bertahan hidup dengan cara apa pun yang halal.
Ia mengaku tak ingin menjadi tunawisma di sudut kota, atau mengemis kepada pengendara seperti yang kerap ia lihat dilakukan sebagian orang lain yang bernasib serupa.
“Kalau saya cuma duduk minta-minta, saya malu. Saya masih sehat, masih bisa jalan, masih bisa usaha. Walaupun susah, lebih baik saya jualan koran. Ini kerjaan jujur,” ucapnya.
Lebih jauh, ia menyebut bertahan sebagai pedagang koran adalah satu-satunya cara agar ia tetap merasa menjadi bagian dari masyarakat meski penjualan merosot, konsumen makin jarang melirik, dan kehadirannya di jalan sering dianggap mengganggu.
“Kalau enggak kerja begini, saya jadi apa? Jadi gelandangan? Enggak lah. Saya masih punya harga diri,” kata Rino menegaskan.
Kemunduran dunia koran cetak pastinya sangat terasa bagi Rino.
“Sudah 10 tahun terakhir makin susah, sejak orang-orang mulai pakai HP pintar,” tutur dia.
Hidup di jalanan pun membuatnya tak terlepas dari kejar-kejaran dengan Satpol PP.
Penertiban menjadi risiko yang hampir pasti hadir dalam pekerjaannya.
“Kalau ada penertiban ya kita bingung, lari-larian. Tapi saya nggak pernah dibawa paling lari kecil-kecil saja,” katanya sambil terkekeh kecil.
Perubahan kebiasaan masyarakat menjadi tantangan terbesar pedagang koran jalanan.
Kompas.com menghubungi Dayat Hidayah (40), seorang pekerja kantoran di Gondangdia yang masih berlangganan koran fisik.
“Rasanya ada yang kurang kalau tidak buka koran di pagi hari,” katanya.
Dayat mengakui bahwa ia juga membaca berita melalui ponsel, tetapi koran lebih memberinya fokus dan kedalaman.
“Kalau di ponsel baru baca dua paragraf sudah ada notifikasi. Kalau koran, saya bisa duduk tenang, lebih paham isinya,” ujarnya.
Ia kemudian menyinggung nasib pedagang koran seperti Rino.
“Saya kasihan lihat mereka. Kadang saya sengaja beli satu dari mereka biar bisa bantu,” tutur Dayat.
“Saya pesimis koran bisa kembali seperti dulu. Mungkin akan tetap ada, tapi jumlahnya kecil,” lanjutnya.
Ignatius Haryanto, peneliti media Universitas Multimedia Nusantara, mengamini kondisi tersebut. Oplah koran kini relatif kecil.
Bahkan banyak media besar hanya mampu mencetak kurang dari 20.000 eksemplar per hari sangat jauh dari masa kejayaan yang bisa mencapai 500.000eksemplar harian.
“Orang ingin cepat mendapatkan informasi. Kalau menunggu koran terbit besok, dianggap ketinggalan zaman,” tutur Ignatius.
Di sisi lain, menurutnya, media tetap mempertahankan versi cetak karena ada kelompok pembaca loyal, berita cetak lebih terstruktur dan terverifikasi, dan koran dianggap memiliki kredibilitas lebih tinggi.
Namun digitalisasi jelas mengubah cara penyebaran berita. Media harus menyeimbangkan keduanya agar tetap relevan.
“Digital dianggap ancaman, tapi juga harus dimanfaatkan,” ujarnya.
Dalam regulasi ketertiban umum, pedagang koran di jalan raya juga termasuk dalam kategori yang harus ditertibkan.
Kasatpol PP Jakarta Pusat, Purnama Hasudungan Panggabean menjelaskan bahwa hal tersebut diatur dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
“Semua termasuk di Perda 8 Tahun 2007. Kita halau dan kita tertibkan,” tegas Purnama.
Ia menyebut, larangan mencakup menjadi pedagang asongan di jalan raya, menyuruh orang lain berjualan secara liar, dan memberi uang atau membeli dari pedagang liar.
Dalam konteks ini, pedagang koran seperti Rino berada dalam posisi rentan antara melanggar aturan atau kehilangan mata pencaharian.
Di tengah kenyataan yang terus menyulitkan, Rino mengaku tetap memiliki kebahagiaan kecil dari pekerjaannya.
“Saya suka baca koran. Saya selalu baca dari koran sisa,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia membaca tentang politik, kriminal, olahraga, hingga hiburan. Meski bukan pelanggan resmi, ia menikmati informasi yang ia jual.
Di trotoar yang menjadi tempatnya menunggu rezeki, Rino membuka lembar demi lembar berita sambil menunggu pengendara berhenti.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.