Jakarta –
Putra Presiden RI ke-1 Sukarno, Guntur Soekarnoputra, meluncurkan buku berjudul ‘Sangsaka Melilit Perut Megawati: Humaniora, Sejarah dan Budaya Nasionalisme Internasionalisme’. Guntur menjelaskan alasan memberikan judul tersebut untuk bukunya itu.
Mulanya, Guntur menjelaskan bahwa bukunya itu merupakan kumpulan tulisannya yang sudah terbit di sejumlah media. Kumpulan tulisan itu, adalah respons akan kondisi sosial politik yang terjadi di Indonesia.
“Mulanya, saya begitu kalau ada situasi, sosial politik terutama itu, timbul ide mencari solusi jalan keluar menghadapi politik, yang katakanlah, tidak karuan begitu,” kata Guntur di Grand Sahid Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (3/11/2024).
Ide kumpulan tulisan itu diterbitkan menjadi buku berasal dari saran mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono. Menurut Guntur, ada banyak peran Hendropriyono dalam penerbitan bukunya.
“Setelah banyak artikel-artikel saya dibuat dan diterbitkan, Pak Hendro itu melihat, bahwa sayang, kalau artikel-artikel saya bertebaran di mana-mana, tapi tidak dijadikan sebuah buku,” katanya.
“Di situ kemudian timbul ide, Pak Hendro bersedia menerbitkan semua kumpulan-kumpulan tulisan,” jelasnya.
Saat itu, Bung Karno menitipkan Sang Saka Merah Putih di kediaman Ibu Fatmawati. Kemudian, menjelang upacara HUT RI tahun 1967, bendera tersebut yang asli itu dicari oleh pihak Istana Kepresidenan.
“Itu di dalam masa transisi dari ke Orde Baru, jadi waktu itu, waktu Bung Karno di Wisma Yaso, Bapak itu masih sempat menitipkan dari salah staf pribadinya untuk menitipkan bendera Sang saka itu di Ibu Fatmawati, jadi di kediamannya Ibu, jadi disimpan di situ,” katanya.
Proses pencarian itu disebut dilakukan hingga melakukan introgasi kepada Bung Karno di Wisma Yaso. Bung Karno pun menitipkan pesan kepada Guntur, agar bendera sang saka itu diserahkan kepada pihak Orde Baru.
“Pada suatu saat, saya dipanggil oleh Bung Karno, di Wisma Yaso, terus bapak ‘Udah to, ini demi kelangsungan persatuan dan kesatuan NKRI, Bapak akan serahkan bendera ini kepada penguasa-penguasa Orde Baru’,” ucapnya.
Pesan Bung Karno itu kemudian dilaksanakan oleh Guntur. Salah satu siasat membawa bendera sang saka untuk melewati penjagaan Wisma Yaso yang ketat adalah dengan melilitkan bendera sang saka ke perut adiknya yakni Megawati Soerkanoputri.
“Masalahnya kalau kita nengok Bung Karno di Wisma Yaso, jangankan bawa benda-benda yang aneh, kalau Ibu kirim sayur lodeh aja, itu oleh komandan jaga aja itu dengan bayonet diudek-udek sayurnya lodehnya, takut nyelundupin apa takut ada apa, dengan demikian kalau mau bawa bendera kan susah kita,” ucap Guntur.
“Akhirnya Ibu Fatmawati mempunyai ide. Mega yang ditanya, waktu itu kita kan panggilnya Adis, ditanya ‘Kamu kalau dapat tugas membawa bendera ke Wisma Yaso kamu sanggup nggak?’ Adis bilang, ‘Sanggup’, ‘Berani?’ ‘Berani'” jelasnya.
“Kemudian Ibu memutuskan Adis waktu itu, yaitu dengan jalan, bendera pusakanya itu dililit di perutnya Adis, perutnya Mega gitu. Terus Mega pakai baju yang agak longgar, dan Ibu pesen, nanti kalau kamu ditanya, bilang aja hamil muda,” katanya.
Menurut Guntur, ide membawa bendera sang saka ke Wisma Yaso adalah hal yang gila. Namun berkat keberanian Megawati, akhirnya bendera sang saka bisa kembali berkibar di Istana saat upacara HUT RI pada tahun 1967.
“Saya berpikir gila ini, karena yang dihadapi kan risikonya luar biasa. Aku tanya ke Adis ‘Kamu berani?’ ‘Berani’ ‘Aku siap Mas’, kita cuma bisa geleng-geleng kepala,” katanya.
“Tapi yaudah, akhirnya dilaksanakan, alhamdulillah sampai ketemu dibawa ke kamar Bung Karno kemudian diserahkan kepada utusan Orde Baru itu. Nah pada tanggal 17 Agustus tahun 67, berkibarlah bendera pusaka sebagai mana biasanya,” jelasnya.
(rfs/rfs)