Partai yang memiliki capres memiliki coattail effect yang jauh lebih besar ketimbang partai yang tidak memiliki capres. Jadi dari sini kita melihatnya jadi tidak apple to apple.”
Dampak lainnya, menurut Dede, partai-partai yang mengusung calon presiden dinilai punya keunggulan elektoral yang tak dimiliki partai lain. Mereka menumpang arus popularitas tokoh nasional, membawa ‘efek ekor jas’ yang dapat melambungkan elektabilitas caleg hingga ke tingkat lokal.
“Partai yang memiliki capres memiliki coattail effect yang jauh lebih besar ketimbang partai yang tidak memiliki capres. Jadi dari sini kita melihatnya jadi tidak apple to apple,” ujarnya.
Sementara itu, partai yang tak memiliki kandidat presiden berisiko tertinggal. Sebab, tak bisa ikut mendulang efek dari pemilu nasional. Persaingan pun, kata Dede, tak lagi setara. Akibatnya adalah orang-orang yang menurut Dede merupakan pejuang-pejuang partai, aktivis-aktivis yang benar-benar mewakili suara rakyat, semakin berkurang di parlemen.
Bagi Dede, perubahan ini semestinya menjadi bahan kajian yang matang, bukan hanya dari sisi teknis penyelenggaraan, tetapi juga dari dampaknya terhadap ekosistem politik nasional.
Senada, politikus Partai NasDem Irma Suryani Chaniago menilai, jika pemilu digelar dua kali dalam periode terpisah, biaya logistik, seperti saksi, kampanye, dan distribusi alat peraga, pun otomatis akan dobel.
Dulu, kata Irma, partai bisa patungan logistik antara caleg DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, ke depan, semua harus jalan sendiri-sendiri. Dengan ongkos setinggi itu, ia khawatir hanya kandidat bermodal besar yang mampu bertahan.
Irma Suryani Chaniago mempertanyakan proses pengambilan putusan di Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, putusan penting seperti pemisahan pemilu nasional dengan daerah seharusnya tidak diambil secara sepihak.
“Kenapa nggak ngobrol dulu dengan DPR, dengan pemerintah. Kalau begini, kami akan melakukan ini bagaimana?” katanya.
Ia menilai putusan yang diambil tanpa melibatkan pemangku kepentingan justru membuka ruang ketidakstabilan pada masa mendatang.
“Dulu sudah diputuskan serentak, sekarang tiba-tiba berubah lagi. Nanti periode berikutnya bisa berubah lagi kalau MK-nya ganti. Ini lembaganya maunya apa?” protesnya.
