Karena itu, lanjutnya, survei Celios yang menggunakan metode serupa juga tak layak disebut riset ilmiah.
“Pengikut Celios kalau dijadikan responden, ya sudah pasti bisa ditebak hasilnya. Tidak perlu riset-riset!,” timpalnya.
Dian menegaskan, siapapun berhak menilai kinerja pemerintahan, namun lembaga survei harus tunduk pada kaidah metodologi ilmiah.
“Semua orang bisa memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintahan. Mau kasih nol, satu, dua, atau sembilan, juga bebas! Tapi kalau lembaga mengaku telah melakukan riset maka dia harus tunduk pada metodologi,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia menyindir klaim riset yang dilakukan Celios. “Jangan ngaku riset tapi sebenarnya lagi ngibul!” tegasnya.
Dian juga mempertanyakan validitas hasil riset Celios yang memberi nilai rendah terhadap sejumlah kementerian.
“Apalagi sampai mau nge-chek kesuksesan program, variabel itu penting. Mana yang harus dikontrol, mana yang bebas. Kalau ujug-ujug ada raport nilai 3, ya monmaap, itu namanya tendensius bukan penilaian,” bebernya.
Bahkan, ia menduga riset tersebut sarat kepentingan politik.
“Apalagi penilaian terhadap kinerja kementerian, jangan-jangan itu semua orderan,” tandasnya.
Menurut Dian, riset kebijakan publik harus didasarkan pada pendekatan ilmiah dan instrumen kausalitas yang tepat.
“Riset kebijakan itu penting soal kausalitas. Ada instrumennya, harus objektif. Boleh pakai difference in differences,” ucapnya.
Ia pun menyarankan agar Celios jujur kepada publik mengenai tujuan dari surveinya.
“Jadi saran saya sama peneliti maha benar Celios, gentle aja bilang bahwa ini bukan hasil riset tapi hasil diskusi-diskusi tim untuk menjatuhkan citra Prabowo-Gibran!” katanya menohok.
