Masyarakat Diminta Pakai Masker Cegah Polusi Mikroplastik Setelah Hujan di Jakarta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengingatkan masyarakat mengenakan masker saat beraktivitas di luar ruangan meski setelah turun hujan.
Imbauan ini disampaikan usai adanya temuan tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menyatakan bahwa air hujan di Jakarta mengandung mikroplastik.
“Gunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan, terutama saat udara kering atau setelah hujan. Ini bukan karena air hujannya, tapi untuk mengurangi paparan debu dan polusi yang mungkin mengandung mikroplastik,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman, dikutip dari keterangan pers, Jumat (31/10/2025).
Aji juga mengimbau masyarakat mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menjaga kebersihan rumah, serta tidak membakar sampah plastik.
Penggunaan botol minum isi ulang, menggunakan tas belanja non-plastik, serta ikut memilah sampah juga dapat mengurangi sampah limbah plastik yang berisiko mencemari lingkungan.
“Langkah kecil penting untuk menekan jumlah plastik di lingkungan dan mencegah terbentuknya lebih banyak mikroplastik di masa depan,” kata Aji.
Sebab, menurut berbagai penelitian, manusia dapat terpapar mikroplastik lewat dua jalur utama.
“Melalui makanan dan minuman serta melalui udara, karena serat sintetis dari pakaian atau debu perkotaan dapat terhirup,” ujar dia.
Beberapa studi menunjukkan paparan jangka panjang dalam jumlah besar dapat berpotensi memicu peradangan jaringan tubuh.
Bahan kimia seperti bisphenol A (BPA) dan phthalates yang menempel di mikroplastik juga dapat mengganggu sistem hormon, reproduksi, dan perkembangan janin.
“Fenomena ini perlu diwaspadai, bukan ditakuti. Ini sinyal bahwa partikel plastik sudah tersebar sangat luas di sekitar kita,” ujar Aji.
Diketahui, tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebelumnya menyatakan bahwa air hujan di Jakarta mengandung mikroplastik.
Mikroplastik adalah potongan plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter (mm) dan berpotensi masuk ke dalam jaringan tanah atau terbawa oleh air laut.
Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova mengatakan, mikroplastik dalam air hujan di Jakarta berasal dari degradasi limbah plastik akibat aktivitas manusia.
Degradasi limbah plastik tersebut melayang ke udara dan terbawa angin bersama dengan debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri sebelum akhirnya turun kembali setelah diguyur hujan.
Proses ini dikenal sebagai siklus plastik atau atmospheric microplastic deposition.
Jika terhirup atau tertelan, partikel kecil ini bisa masuk ke dalam tubuh.
Lama kelamaan, kondisi ini bisa membahayakan kesehatan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2021/08/02/6106e0f450b0e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Masyarakat Diminta Pakai Masker Cegah Polusi Mikroplastik Setelah Hujan di Jakarta
-
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mengapa Usia Pensiun Guru Tak Bisa Sama dengan Dosen?
Mengapa Usia Pensiun Guru Tak Bisa Sama dengan Dosen?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mahkamah Konstitusi (MK) menjawab permohonan seorang guru asal Semarang, Jawa Tengah, Sri Hartono yang menggugat usia pensiun guru minta disamakan dengan dosen.
Jawaban atas dalil Sri Hartono itu dibacakan dalam putusan nomor 99/PUU-XXIII/2025 itu diucapkan pada Kamis (30/10/2025).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK mengatakan, batas usia pensiun guru tidak dapat disamakan dengan dosen yang bisa mencapai 70 tahun untuk seorang profesor yang berprestasi.
Guru juga tidak
vis a vis
dengan dosen, karena syaratnya beda, yang paling kentara adalah syarat minimal pendidikan yang harus ditempuh.
“Jabatan fungsional guru mensyaratkan minimal Strata 1, sedangkan jabatan fungsional dosen mensyaratkan pendidikan minimal Strata 2,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dalam sidang.
Syarat utama ini sudah memberikan jarak waktu yang relatif jauh antara guru dan dosen.
Jika guru bisa langsung bekerja setelah tamat S1, dosen harus menempuh jenjang pendidikan lagi minimal selama dua tahun untuk mendapat gelar S2.
“Secara umum, dosen memulai masa kerja pada usia yang relatif lebih tinggi, yaitu setelah yang bersangkutan memperoleh gelar S2. Untuk itu, menurut Mahkaman tidak terdapat persoalan konstitusional norma berkenaan dengan pembedaan batas usia pensiun antara guru dan dosen,” imbuh dia.
MK juga membantah dalil Sri Hartono yang menilai menambah usia pensiun guru akan menambal angka kekurangan guru yang terjadi di Indonesia.
MK tidak menolak keterangan Sri terkait dengan kekurangan guru, namun Mahkamah menilai kekurangan guru perlu dilakukan dengan kebijakan rekrutmen agar kesinambungan pendidikan tetap terjaga.
“Dengan demikian, masih terdapat kebutuhan kebijakan rekrutmen dan pengelolaan pensiun agar kesinambungan tenaga pendidikan tetap terjaga,” kata Enny.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK juga membahas terkait dengan demotivasi dan kesejahteraan guru, serta tanggung jawab pemerintah mewujudkan pendidikan berkualitas.
Dalil pemohon yang mengatakan usia pensiun 60 tahun untuk guru membuatnya demotivasi, karena menurut pemohon secara fisik dan psikis guru usia 60 tahun masih mampu berkontribusi besar.
Atas dalil tersebut, MK meminta agar pemerintah melakukan kajian terkait dengan guru yang berusia di atas 60 tahun, atau termasuk kategori lansia tersebut, khususnya jenjang ahli utama.
“Menurut Mahkamah, penting bagi pemerintah melakukan kajian yang komperhensif mengenai jabatan fungsional guru pada jenjang jabatan ahli utama untuk mencapai batas usia pensiunnya menjadi 65 tahun,” imbuh Enny.
Kajian ini dinilai penting karena terkait dengan berbagai pertimbangan yang berada di luar kewenangan MK.
Sebab, persoalan tersebut tidak hanya terkait dengan syarat kesehatan jasmani dan rohani, kompetensi, kualifikasi, kuota serta hal-hal teknis sehingga perpanjangan batas usia pensiun bagi guru pada jenjang jabatan ahli utama benar-benar akan berkontribusi besar bagi peningkatan kualitas sistem pendidikan nasional.
“Dengan demikian, kebutuhan untuk perpanjangan batas usia pensiun bagi guru, terutama yang berada pada jenjang guru ahli utama hingga berusia 65 tahun merupakan ranah pembentuk undang-undang,” ujar Enny.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/18/6879bf173b84b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Air Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik, Kemenkes: Ini Perlu Diwaspadai
Air Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik, Kemenkes: Ini Perlu Diwaspadai
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengingatkan masyarakat mewaspadai dampak kesehatan dari penyebaran partikel-partikel plastik yang ikut terbawa ketika hujan turun di Jakarta.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan Aji Muhawarman menuturkan, keberadaan mikroplastik di air hujan tidak berarti air hujan berbahaya langsung bagi kesehatan, tetapi tetap perlu diwaspadai.
“Fenomena ini perlu diwaspadai, bukan ditakuti. Ini sinyal bahwa partikel plastik sudah tersebar sangat luas di sekitar kita,” ujar Aji, dikutip dalam keterangan pers, Jumat (31/10/2025).
Aji menuturkan, menurut berbagai penelitian, manusia dapat terpapar mikroplastik lewat dua jalur utama.
“Melalui makanan dan minuman serta melalui udara, karena serat sintetis dari pakaian atau debu perkotaan dapat terhirup,” ujar dia.
Beberapa studi menunjukkan bahwa paparan jangka panjang dalam jumlah besar dapat berpotensi memicu peradangan jaringan tubuh.
Bahan kimia seperti bisphenol A (BPA) dan phthalates yang menempel di mikroplastik juga dapat mengganggu sistem hormon, reproduksi, dan perkembangan janin.
“Meski begitu, para ahli menegaskan hingga kini belum ada bukti ilmiah kuat bahwa mikroplastik secara langsung menyebabkan penyakit tertentu,” sebut dia.
Sebab, tingkat paparan plastik pada populasi umum masih rendah dan terus menjadi fokus penelitian para ahli.
Sebagai langkah pencegahan, Aji mengimbau masyarakat untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menjaga kebersihan rumah, serta tidak membakar sampah plastik.
“Gunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan, terutama saat udara kering atau setelah hujan. Ini bukan karena air hujannya, tapi untuk mengurangi paparan debu dan polusi yang mungkin mengandung mikroplastik,” ujar dia.
Masyarakat juga disarankan untuk membawa botol minum isi ulang, menggunakan tas belanja non-plastik, serta ikut memilah sampah.
Menurut Aji, langkah kecil penting untuk menekan jumlah plastik di lingkungan dan mencegah terbentuknya lebih banyak mikroplastik di masa depan.
Diketahui, tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebelumnya menyatakan bahwa air hujan di Jakarta mengandung mikroplastik.
Mikroplastik adalah potongan plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter (mm) dan berpotensi masuk ke dalam jaringan tanah atau terbawa oleh air laut.
Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova menjelaskan bahwa mikroplastik dalam air hujan di Jakarta berasal dari degradasi limbah plastik akibat aktivitas manusia.
Degradasi limbah plastik tersebut melayang ke udara dan terbawa angin bersama dengan debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri sebelum akhirnya turun kembali setelah diguyur hujan.
Proses ini dikenal sebagai siklus plastik atau atmospheric microplastic deposition.
Jika terhirup atau tertelan, partikel kecil ini bisa masuk ke dalam tubuh.
Lama kelamaan, kondisi ini bisa membahayakan kesehatan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/02/06/67a45a2ba11d0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen
Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen
Pegiat Demokrasi dan Pemilu
REVISI
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, usulan Baleg DPR serta prioritas Prolegnas 2026, usulan Komisi II DPR.
Revisi ini diharapkan mencari solusi atas pelaksanaan pemilu yang rumit, bukan sekadar tambal sulam aturan.
Selain itu, mempertegas aturan pelaksanaan pemilu serta operasionalnya untuk memulihkan kredibilitas dan integritas proses pemilu. Serta memastikan pemilu lebih efisien, transparan, adil dan modern.
Selama ini kompleksitas aturan yang ada acapkali tumpang tindih sehingga membingungkan dalam pelaksanaan proses demokrasi elektoral.
Setiap kali pembaharuan UU Pemilu, satu isu klasik selalu menjadi trigger dan mencuri perhatian masyarakat adalah ambang batas parlemen (
parliamentary threshold
).
Angkanya mungkin terlihat sepele dari 4 persen, 5 persen atau sampai 7 persen. Namun di balik itu semua, tersimpan pertarungan besar tentang makna demokrasi.
Ambang batas yang konon dirancang demi “efisiensi politik”, selama ini justru menjadi ketidakadilan elektoral.
Di Indonesia, penerapan ambang batas jadi gula-gula politik yang menggoda kekuasaan. Penerapan ambang batas yang tinggi memungkinkan partai besar mempertahankan dominasi dan menyingkirkan pesaing sebelum kompetisi dimulai.
Semakin tinggi ambang batas, makin sempit pula ruang demokrasi. Ibaratnya seperti menggelar pesta rakyat, tapi hanya segelintir tamu yang boleh masuk.
Fakta menunjukkan bahwa ambang batas acapkali menjadi jebakan yang menggoda para pembuat aturan untuk melanggengkan kekuasaan dan kelompoknya.
Ironisnya, setiap kali revisi UU Pemilu dibahas, godaan untuk menaikkan ambang batas mesti muncul. Bila tren ini diteruskan, maka pemilu mendatang bukan lagi tentang siapa yang mendapat kepercayaan rakyat, melainkan siapa yang mampu mempertahankan dominasi kekuasaan lewat angka.
Dalam Teori Hegemoni Antonio Gramsci, ambang batas dijadikan alat hegemoni politik. Partai besar menggunakan wacana “penyederhanaan sistem” atau “efektivitas pemerintahan” untuk mendominasi ruang komunikasi politik.
Bentuk persetujuan yang dipaksakan untuk mengatur siapa yang boleh berbicara dan siapa yang disenyapkan di arena demokrasi.
Adanya ambang batas akan membatasi partai-partai baru atau kecil untuk turut serta dalam pengambilan kebijakan publik.
Suara minoritas yang seharusnya menjadi bagian dari mozaik demokrasi, malah terbuang sia-sia. Sementara demokrasi harus memberi ruang bagi keragaman suara, menjaga keberlangsungan demokrasi sekaligus menegakkan keadilan representasi.
Pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional. Berkaca dari pengalaman pemilu selama ini, ada paradoks yang mencolok: banyak sekali suara yang tidak terkonversi menjadi kursi, jutaan suara rakyat terbuang karena partai politiknya tidak punya cukup suara memenuhi ambang batas parlemen.
Akhirnya distribusi kursi di DPR tidak sepenuhnya mencerminkan kemauan pemilih, melainkan sekadar hasil kalkulasi dari aturan yang menyingkirkan sebagian besar suara rakyat.
Penggunaan ambang batas parlemen yang terus naik dari pemilu ke pemilu membawa konsekuensi signifikan terhadap peta representasi politik di Senayan.
Data menunjukkan, dalam pemilu 2004 dengan ambang batas 3 persen, sebanyak 19.047.481 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi atau sekitar 18 persen.
Pemilu 2009 dengan ambang batas 2,5 persen, sebanyak 19.044.715 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi atau sekitar 18,2 persen.
Begitu pula di pemilu 2014 dengan ambang batas 3,5 persen, ada 2.964.975 suara atau sekitar 2,4 persen yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
Lalu di pemilu 2019 dengan ambang batas 4 persen, ada 13.595.842 suara atau sekitar 9,7 persen yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
Sementara pemilu terakhir 2024, dengan ambang batas masih 4 persen, sebanyak 16.977.503 suara atau 11,19 persen yang tidak terkonversi jadi kursi di DPR.
Fenomena ini menimbulkan hilangnya nilai suara rakyat (
wasted votes
) dalam jumlah besar. Ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan pemilu sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Bayangkan, jutaan orang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), mencoblos dengan penuh harapan, tapi suaranya menguap atau hangus. Ini bukan sekadar inefisiensi, melainkan pengingkaran terhadap asas kedaulatan rakyat.
Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan dalih penyederhanaan partai politik.
Padahal ambang batas seyogianya menyaring, bukan menyingkirkan. Ia mengatur tata kelola representasi, tetapi tidak boleh menghapus representasi itu sendiri.
Karena keadilan elektoral hanya dapat berdiri jika setiap suara, besar mapun kecil, punya nilai politik yang sama.
Namun, ketika suara minoritas dihapus atas nama efisiensi, demokrasi akan kehilangan maknanya. Rakyat mungkin tetap punya pemilu, tapi kehilangan rasa keadilan politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 terkait ambang batas parlemen jadi angin segar bagi demokrasi agar dapat tumbuh lebih baik dan bermartabat.
Dalam putusan itu, Mahkamah meminta pembentuk undang-undang untuk
mengubah ambang batas parlemen pada Pemilu 2029
dan pemilu-pemilu yang akan datang dengan memperhatikan sejumlah hal.
Pertama, didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Kedua, perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
Ketiga, perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyerderhanaan partai politik.
Keempat, perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029. Kelima, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
Pertimbangan MK ini tentu tidak muncul tanpa dasar, melainkan merupakan hasil penilaian objektif terhadap sistem kepartaian Indonesia yang cenderung multipartai, serta untuk menjaga agar prinsip keterwakilan politik dan keadilan pemilu tetap terjamin.
Pada akhirnya, pertarungan ini bukan sekadar soal angka ambang batas, tetapi tentang keberanian DPR untuk setia pada semangat konstitusi.
Apakah para legislator berani menurunkannya demi keadilan representatif, atau justru meneguhkan ketidakadilan atas nama stabilitas politik?
Sebagai alternatif dari penulis, agar suara tidak terbuang percuma, bisa diterapkan mekanisme fraksi
threshold,
sama halnya seperti mekanisme di tingkat DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.
Opsi ini terbukti berjalan efektif di mana partai-partai dengan kursi terbatas tetap dapat berpartisipasi dalam kerja-kerja legislatif melalui fraksi gabungan.
Dengan pendekatan seperti ini, penyederhanaan sistem kepartaian tetap terjaga, tapi keterwakilan rakyat tidak jadi korban.
Di sinilah seharusnya arah revisi UU Pemilu diletakkan, bukan pada pengetatan ambang batas, melainkan pada penguatan mekanisme representasi yang inklusif.
Satu hal yang selalu menjadi catatan serius dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, yakni etika. Bila revisi UU Pemilu kali ini masih kembali menempatkan ambang batas sebagai alat eksklusi, maka demokrasi Indonesia akan kehilangan ruhnya.
Demokrasi bukan hanya soal mekanisme pemilihan dan kekuasaan, melainkan juga sistem nilai, moral dan etika yang menjadi pijakannya.
Bukan rahasia lagi bahwa sistem politik bisa dipakai untuk mengendalikan aturan main demi kepentingan kekuasaan.
Dalam konteks revisi UU Pemilu bisa muncul dalam berbagai rupa: ambang batas parlemen, mekanisme konversi suara, hingga desain daerah pemilihan (dapil) yang secara halus dapat menentukan siapa yang diuntungkan atau disingkirkan.
Di sinilah etika demokrasi diuji: Apakah DPR sungguh bekerja untuk memperkuat kualitas demokrasi, atau justru memperkuat posisinya sendiri di parlemen?
Menurunkan ambang batas parlemen sejatinya bukan langkah mundur, melainkan tindakan berani untuk mengakui bahwa demokrasi yang sehat tidak pernah takut pada keberagaman suara.
Ujian etika demokrasi merupakan panggilan moral bagi para legislator untuk menjaga demokrasi tidak hanya sebatas aturan formal, tetapi juga menjadikannya sebagai sistem yang benar-benar bermakna, berkeadilan, dan berintegritas.
Sebab, kekuatan demokrasi terletak bukan hanya pada jumlah suara, melainkan pada kualitas moral dan etika yang mengiringinya.
Revisi UU Pemilu kali ini adalah kesempatan untuk membuktikan, apakah bangsa ini berani menegakkan keadilan, atau bangsa yang rela menukar etika demi efisiensi politik.
Demokrasi sejati bukan tentang siapa yang menang, tetapi bagaimana memperlakukan suara yang kalah. Tanpa etika, demokrasi hanya menjadi mesin kekuasaan yang sah secara hukum, tapi hampa secara moral.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/18/687a2b7bccf6a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Panggung Digital Anies Baswedan: Menjaga Elektabilitas di Luar Kekuasaan
Panggung Digital Anies Baswedan: Menjaga Elektabilitas di Luar Kekuasaan
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta
DALAM
lanskap politik modern, pengaruh seorang tokoh tak lagi berhenti pada masa jabatannya. Di era digital, politisi bisa tetap eksis dan berpengaruh tanpa kursi pemerintahan.
Ruang digital telah menjadi panggung baru, tempat mantan pejabat menata ulang narasi diri, memelihara reputasi, dan membangun kembali legitimasi sosial.
Fenomena ini tergambar pada sosok Anies Baswedan. Usai menuntaskan masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta dan mengalami kekalahan dalam Pilpres 2024, ia tidak menghilang dari ruang publik.
Melalui unggahan reflektif di platform seperti X (Twitter), Instagram, TikTok dan YouTube, Anies rajin menyampaikan pandangan sosial, catatan kebangsaan, serta pesan moral yang bernuansa humanis dan edukatif.
Langkah ini menunjukkan bahwa komunikasi politik pascakekuasaan bukan tentang berakhirnya peran, melainkan tentang bagaimana menjaga relevansi dan kepercayaan publik.
Menurut Alice Marwick (2019), di era media sosial, figur publik menggunakan strategi
microcelebrity
dengan membangun dan mengelola persona digital yang tampak autentik, personal, serta interaktif.
Strategi ini memungkinkan mereka untuk mempertahankan pengaruh di luar struktur formal melalui komunikasi yang terpersonalisasi dan hubungan emosional dengan audiens.
Anies memainkan peran ini dengan cermat. Ia tidak tampil sebagai mantan pejabat yang mengeluh, melainkan sebagai pemikir publik yang merefleksikan pengalaman kekuasaan dengan nada bijak dan inspiratif.
Setiap unggahannya dirancang untuk menghadirkan kesan personal tanpa kehilangan jarak profesional.
Ia tidak sedang “berkampanye”, melainkan membangun narasi moral dan intelektual yang menegaskan identitasnya sebagai tokoh nasional.
Strategi ini membuat publik melihat Anies bukan sebagai politisi yang kalah, melainkan sebagai pemimpin ideologis yang tetap relevan.
Dengan menjaga ritme komunikasi dan kedalaman narasi, Anies tetap dapat menjadi referensi politik, bahkan saat tidak sedang memegang jabatan publik.
Banyak pengamat menilai bahwa keaktifan Anies di ruang digital merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk menjaga political momentum menuju Pemilu 2029.
Menurut Anthony Leong, Direktur PoliEco Digital Insights Institute, Anies membutuhkan panggung politik selama lima tahun ke depan untuk menjaga relevansinya hingga kontestasi Pemilu 2029.
Pandangan serupa disampaikan Adi Prayitno, Direktur Parameter Politik Indonesia, yang menilai bahwa momentum politik Anies perlu terus dirawat agar tetap menjadi figur sentral dalam percakapan publik nasional.
Dalam logika politik modern,
visibility
adalah modal. Politisi yang berhasil mempertahankan perhatian publik selama masa jeda politik akan memiliki posisi lebih kuat saat siklus elektoral berikutnya dimulai.
Hal ini juga selaras dengan teori
Hybrid Media System
yang dikembangkan oleh Andrew Chadwick, Dennis, dan Smith (2016), yang menjelaskan bagaimana politisi kini menggabungkan kekuatan media konvensional dan digital untuk membangun jaringan pengaruh yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini, ruang digital berfungsi sebagai perpanjangan dari arena politik konvensional. Aktivitas daring bukan sekadar pelengkap, tetapi instrumen utama dalam menjaga kontinuitas wacana dan keterhubungan emosional antara politisi dan publik.
Anies masih kerap menjadi rujukan media nasional setiap kali ia membuat pernyataan reflektif atau unggahan yang menyentuh isu publik.
Hal ini menunjukkan bahwa ruang digital tidak menggantikan panggung politik, tetapi memperpanjang napasnya.
Dengan demikian, aktivitas digitalnya bukan sekadar ekspresi personal, melainkan bagian dari strategi komunikasi politik pascakekuasaan — mempertahankan kehadiran simbolik dan memperluas resonansi gagasan.
Pendekatan ini membuat Anies tetap “hidup” dalam kesadaran publik, bahkan di luar siklus elektoral resmi.
Publik kini semakin peka terhadap gaya komunikasi yang dibuat-buat. Mereka lebih menghargai kejujuran emosional daripada retorika yang sempurna.
Alice Marwick (2013) menyebut fenomena ini sebagai
performative authenticity
— perpaduan antara kesungguhan dan kesadaran strategis untuk tampil alami di ruang digital.
Anies tampak menyeimbangkan dua hal ini: menghadirkan refleksi yang tulus tanpa kehilangan citra intelektualnya.
Di saat banyak politisi pascajabatan memilih diam, Anies justru menunjukkan bentuk politik keberlanjutan narasi. Ia membangun kembali citra bukan melalui jabatan, tetapi melalui gagasan dan komunikasi moral.
Dengan menjaga konsistensi gaya, tone, dan nilai, ia sedang memelihara apa yang disebut
symbolic capital
— modal kepercayaan dan relevansi publik yang bisa menjadi pijakan untuk langkah politik berikutnya.
Strategi komunikasi pascakekuasaan yang dijalankan Anies Baswedan memberi pelajaran penting: politik tidak berhenti di akhir masa jabatan, tetapi bertransformasi melalui ruang digital.
Ruang tersebut memungkinkan politisi menjaga koneksi emosional, memelihara relevansi, sekaligus menanam benih pengaruh baru.
Apakah langkah ini bagian dari persiapan menuju pemilu 2029? Mungkin belum secara deklaratif, tetapi jelas merupakan pemetaan komunikasi politik jangka panjang.
Dalam dunia di mana pengaruh ditentukan oleh atensi, mereka yang mampu memadukan refleksi, kontinuitas narasi, dan autentisitas digital akan selalu punya peluang untuk kembali.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/10/30/690377dd1ab67.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Prabowo Tiba di Korsel, Bakal Hadiri KTT APEC 2025
Prabowo Tiba di Korsel, Bakal Hadiri KTT APEC 2025
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto telah tiba di Republik Korea Selatan (Korsel) pada Kamis (30/10/2025).
Berdasarkan keterangan Setpres, kunjungan Prabowo kali ini untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) 2025 yang digelar di Gyeongju.
Adapun Pesawat Garuda Indonesia-1 yang membawa Presiden Prabowo beserta rombongan mendarat di Pangkalan Udara Gimhae, Busan pada pukul 22.20 waktu setempat.
Di bawah tangga pesawat, ketibaan Presiden di Republik Korea disambut oleh Menteri Defense Acquisition Program Administration Republik Korea, Mayjen (Purn) Seok Jong Gun, Menteri Luar Negeri Sugiono, Wakil Wali Kota Gyeongju Song Ho-Jun, Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Korea Cecep Herawan, dan Atase KBRI Seoul Kolonel Pnb Muhammad Arief.
Prabowo kemudian berjalan melewati pasukan jajar kehormatan.
Rangkaian KTT APEC 2025 sendiri dijadwalkan berlangsung pada 31 Oktober hingga 1 November 2025.
Rangkaian konferensi ini diagendakan menghadirkan para pemimpin ekonomi anggota APEC untuk membahas arah kebijakan strategis di kawasan Asia-Pasifik.
Di bawah keketuaan Republik Korea, KTT APEC tahun ini mengusung tema “Building a Sustainable Tomorrow: Connect, Innovate, Prosper” yang mencerminkan komitmen bersama anggota APEC untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Sebagai bagian dari pelaksanaan visi tersebut, KTT APEC 2025 menekankan tiga prioritas utama yakni terhubung, berinovasi, dan sejahtera.
Melalui prioritas ini, pembahasan akan berfokus pada fasilitasi perdagangan dan investasi, koneksi antarindividu, transisi digital dan ekonomi berkelanjutan, penguatan UMKM dan kelompok rentan, serta perubahan demografi.
Dalam pertemuan tingkat pemimpin ekonomi atau APEC Economic Leaders’ Meeting (AELM), Prabowo dijadwalkan akan berbicara mengenai penguatan kerja sama ekonomi di kawasan.
Kehadiran Presiden Prabowo dalam KTT APEC 2025 memiliki arti strategis mengingat APEC mencakup sekitar 60 persen PDB dunia dan 36 persen populasi global.
Partisipasi aktif Indonesia di APEC menjadi kesempatan untuk berkontribusi dalam membangun masa depan kawasan yang berkelanjutan dan berimbang.
Indonesia juga memiliki peran dalam menjembatani kepentingan antaranggota, serta memastikan hasil kerja sama APEC berdampak langsung bagi masyarakat, pelaku usaha, dan dunia kerja.
Turut mendampingi Kepala Negara dalam perjalanan dari Jakarta menuju Republik Korea adalah Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/10/30/69036b20e2227.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Silaturahmi ke Syarikat Islam, Mardiono Didukung Hamdan Zoelva untuk Besarkan PPP di Pemilu 2029
Silaturahmi ke Syarikat Islam, Mardiono Didukung Hamdan Zoelva untuk Besarkan PPP di Pemilu 2029
Penulis
KOMPAS.com
— Ketua Umum Syarikat Islam (SI) Prof. Dr. Hamdan Zoelva menegaskan komitmen SI untuk ikut mendorong kebangkitan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kini tengah berjuang kembali lolos parlemen di Pemilu 2029.
Hal tersebut dikatakan Hamdan Zoelva saat menerima kunjungan silaturahmi Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono beserta jajaran pengurus DPP PPP di kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) SI, Jakarta Kamis (30/10/2025).
“PPP adalah partainya umat dan Syarikat Islam merupakan salah satu pendiri partai ini. Tentu kami merasa memiliki tanggung jawab moral dan historis agar PPP tidak hanya bertahan, tapi juga bisa besar kembali seperti masa-masa lalu,” ujar Hamdan Zoelva, usai pertemuan.
Pertemuan tersebut berlangsung hangat dan sarat makna sejarah, membahas langkah-langkah strategis untuk menghidupkan kembali kejayaan PPP sebagai partai Islam.
Mantan Ketua MK 2013-2015 ini juga menegaskan bahwa posisi Syarikat Islam ini memiliki kedekatan historis dengan PPP dibandingkan partai lain, sehingga memberikan makna khusus.
“Tentu sebagai induk yang mendirikan PPP merasa penting untuk melihat PPP tumbuh dan besar kembali. Kalaupun sekarang tidak ada kursi di DPR RI, harapan kami di 2029 bisa kembali dengan suara yang lebih besar,” ucap Hamdan.
Sementara itu, Ketua Umum PPP, Muhamad Mardiono menyampaikan bahwa kunjungan ini merupakan bentuk silaturahmi sekaligus laporan hasil Muktamar PPP yang baru saja selesai digelar pada September lalu.
“Syarikat Islam adalah salah satu dari empat organisasi pendiri PPP. Karena itu, kami datang untuk bersilaturahmi, melaporkan hasil muktamar, dan meminta pandangan serta bimbingan dari Syarikat Islam,” jelas Mardiono.
Ia pun menyampaikan harapan agar Hamdan Zoelva dapat memberikan masukan bagi arah kepengurusan baru PPP, bahkan membuka peluang untuk ikut bergabung dalam struktur partai.
“Alhamdulillah beliau sangat memberikan perhatian terhadap dinamika yang terjadi di PPP. Kami berharap Pak Hamdan Zoelva berkenan memberikan pandangan dan mungkin bergabung bersama kami dalam upaya membesarkan kembali PPP,” ujarnya.
Pertemuan ini menjadi sinyal kuat adanya upaya konsolidasi dan rekonsolidasi kekuatan Islam politik menjelang Pemilu 2029. Dengan dukungan moral dari organisasi pendiri seperti Syarikat Islam, PPP diharapkan mampu bangkit kembali menjadi salah satu kekuatan utama politik umat di Indonesia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/10/31/690438c79c23c.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/04/21/6805d396c71d2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/10/30/6903697b5562f.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)